Diasuh Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi Tanya : Ustadz, bolehkah seorang perempuan berangkat haji atau umroh tanpa disertai mahram? (Fitri, Semarang). Jawab : Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama bahwa jika hajinya bersifat sunnah, yakni berhaji untuk kedua kalinya dan seterusnya, tidak boleh hukumnya seorang perempuan naik haji tanpa mahram. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, XVII/35). Adapun jika hajinya bersifat wajib, yakni baru pertama kalinya naik haji, terdapat khilafiyah di antara ulama menjadi 2 (dua) pendapat sbb; Pertama, tidak boleh berhaji tanpa mahram, karena adanya mahram adalah syarat wajib bagi perempuan yang hendak berhaji. Ini pendapat ulama mazhab Hanafi dan Hambali. Kedua, boleh perempuan berangkat haji walau pun tanpa mahram, karena adanya mahram bukan syarat wajib. Maka pendapat ini membolehkan perempuan berangkat haji bersama rombongan perempuan yang terpercaya (niswah tsiqaat, rifqah ma`muunah). Ini pendapat ulama mazhab Syafi’i dan Maliki. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, XVII/35-36; Ali bin Nashir Al Syal’an, An Nawazil fi Al Hajj, hlm. 88-90; Abdurrahman Al Harfi, Al Jami’ fi Ahkam Al Hajj, hlm. 362). Pendapat yang lebih kuat (rajih) adalah pendapat yang tidak membolehkan, karena telah terdapat nash hadits yang sharih (jelas) dalam masalah ini. Dari Ibnu ‘Abbas RA, bahwa Nabi SAW bersabda,”Janganlah sekali-kali seorang laki-laki ber-khalwat (bersepi-sepi) dengan seorang perempuan, kecuali perempuan itu disertai mahramnya. Dan janganlah seorang perempuan melakukan perjalanan kecuali perempuan itu disertai mahramnya.” Lalu seorang laki-laki berdiri dan berkata,”Wahai Rasulullah, sesungguhnya istri saya hendak berangkat haji, sedangkan saya telah diwajibkan untuk mengikuti perang ini dan ini.” Maka Rasulullah SAW bersabda,”Pergilah dan berhajilah bersama istrimu!” (HR Bukhari no. 1763 & 4935; Muslim no. 424 & 1341). Hadits ini dengan jelas (sharih) menunjukkan bahwa keberadaan mahram (atau suami) adalah syarat wajib bagi perempuan. Sebab jika bukan syarat wajib, tentu Nabi SAW tidak akan memerintahkan laki-laki itu untuk menemani istrinya naik haji dan meninggalkan kewajiban berperang (QS Al Baqarah [2] : 216). Padahal kaidah fiqih menetapkan : al waajibu laa yutraku illa li waajibin (suatu kewajiban tidak boleh ditinggalkan kecuali untuk melaksanakan kewajiban lain). Maka ketika Nabi SAW memerintahkan laki-laki itu untuk meninggalkan kewajiban berperang, berarti hukum adanya mahram atau suami adalah wajib, bukan sunnah atau mubah. (Ali bin Nashir Al Syal’an, An Nawazil fi Al Hajj, hlm. 95; Jalaluddin As Suyuthi, Al Asybah wa Al Nazha`ir, hlm. 148). Adapun pendapat yang membolehkan perempuan naik haji tanpa mahram, dalilnya antara lain hadits dari Adi bin Hatim RA, bahwa Nabi SAW pernah bersabda kepadanya,”Jika hidupmu panjang, maka sungguh kamu akan melihat seorang perempuan melakukan perjalanan dari Al Hiirah [wilayah Arab bekas kerajaan Persia] hingga dia dapat melakukan thawaf mengelilingi Ka’bah dalam keadaan tidak takut kepada seorang pun.” (HR Bukhari no. 3400). Hadits ini menunjukkan bahwa boleh hukumnya seorang perempuan melakukan safar sendirian (tanpa mahram/suami) untuk melaksanakan haji yang sifatnya wajib. (Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Bari, VI/549). Namun pemahaman ini bertentangan dengan pemahaman dari hadits Ibnu Abbas RA di atas yang mengharamkan perempuan naik haji tanpa mahram/suami. Maka pemahaman yang rajih (lebih kuat) adalah pendapat yang mengharamkan, sesuai kaidah tarjih dalam ushul fiqih : al khabar al daal ‘ala at tahriim raajih ‘ala al khabar al daal ‘ala al ibaahah (hadits yang menunjukkan keharaman lebih kuat daripada hadits yang menunjukkan kebolehan). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, III/492). Wallahu a’lam.
Bagi para pembaca yang ingin menanyakan masalah Agama kepada KH. M. Shiddiq Al Jawi, silakan isi form pertanyaan di bawah ini. KH. M. Shiddiq Al Jawi insya Allah akan berusaha menjawab pertanyaan dari para pembaca melalui email.