Diasuh Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi Soal : Jawab : Di samping itu, ada dalil khusus yang membolehkan orang mukim bermakmum kepada musafir. Imam Abu Dawud meriwayatkan bahwa pada saat Fathu Makkah (th 8 H), Nabi SAW tinggal di Makkah selama 18 malam dan mengimami shalat dua-dua rakaat. Kemudian Nabi SAW bersabda kepada penduduk Makkah (yang tidak bersafar),”Hai penduduk Makkah, shalatlah kamu sekalian dua rakaat lagi. Sebab kami adalah orang-orang yang sedang dalam safar.” (HR Abu Dawud, lihat Ibnu Qudamah, Al Mughni, Juz I, hal. 130) Selain itu, sebaliknya, ada contoh dari shahabat yang sedang bersafar yang bermakmum kepada orang mukim. Imam Malik meriwayatkan bahwa shahabat Abdullah ibnu Umar RA shalat di belakang imam di Mina empat rakaat dan apabila ia shalat sendirian, ia mencukupkan dengan dua rakaat saja (HR Malik, dalam Al Muwaththa`, Juz I, hal. 164) (Lihat Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Shalat, hal. 441) (2). Bila musafir bermakmum kepada mukim, maka musafir wajib menyempurnakan shalatnya (tidak qashar). Demikianlah pendapat jumhur imam madzhab, yakni Imam Abu Hanifah, Asy Syafii, dan Ahmad. (Lihat Muhammad bin Abdurrahman Asy Syafi’i Ad Dimasyqi, Rohmatul Ummah, hal. 94). Yang demikian itu dikarenakan dalam sholat berjamaah, mengikuti imam adalah lebih kuat atas makmum daripada makmum itu menjalankan shalat sesuai makmum itu sendiri. Nabi SAW bersabda : “Ju’ilal imaamu liyu`tamma bihi falaa takhtalifuu ‘alayhi…” (Dijadikan imam itu untuk diikuti [makmumnya], maka janganlah kamu menyalahinya…) (Ali Raghib, Ahkamush Sholat, hal. 74) Maka dari itu, jika dilaksanakan sholat zhuhur yang dipimpin oleh imam yang mukim (tidak bersafar), lalu ada musafir yang menjadi makmumnya, maka musafir itu wajib menyempurnakan shalatnya. Tidak boleh musafir itu mengqasharnya. Yaitu dia wajib melaksanakan sholat itu sampai 4 rakaat. Jika musafir itu ikut hanya sampai rakaat kedua, lalu salam, sementara imam terus melanjutkan rakaat berikutnya (ketiga dan keempat), maka sholat makmum (musafir) itu tidak sah. (3). Menurut Ali Raghib dalam Ahkamush Sholat, hal. 85, tidak ada batas waktu tertentu untuk waktu safar. Jika seorang musafir meniatkan untuk tinggal (berdomisili tetap) di suatu tempat, maka pada saat itu juga selesailah safarnya. Maka, dia tidak boleh mengqashar sholatnya. Adapun jika seorang musafir tidak berniat menjadikan suatu tempat sebagai tempat tinggalnya yang tetap (mahal al iqamah), maka dia tetap dianggap sebagai musafir. Tinggalnya dia di tempat tersebut tidak dianggap domisili secara tetap, bagaimana pun juga lamanya dia ada di situ. Misalnya seorang musafir bepergian ke Eropa untuk berdagang dan tinggal di sebuah kota (misalnya London) untuk mengetahui keadaan pasarnya, atau membeli barang dagangan. Maka tinggalnya dia di kota tersebut tetap dianggap safar berapa pun lamanya dia ada di London, baik ia lalu berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain, atau tetap tinggal di satu kota saja (London). Safar baru dianggap berakhir bila si musafir menjadikan London sebagai tempat tinggal tetapnya, atau sampai dia kembali ke kota asalnya. Imam Al Baihaqi mengeluarkan hadits dari Ibnu Abbas bahwa Nabi SAW pernah tinggal di Hunain selama 40 hari dan beliau mengqashar shalatnya. (Lihat Ali Raghib, Ahkamush Sholat, hal. 85-87). Dinukilkan oleh Ibnul Mundzir dalam kitabnya Isyraf, ”Telah sepakat ahli ilmu menetapkan bahwa para musafir boleh terus mengqasharkan shalatnya, selama ia belum berniat iqamah (tinggal secara tetap), walaupun berlalu bertahun-tahun.” (Lihat Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Shalat, hal. 447) Hanya saja safar yang dimaksud adalah safar syar’i (bepergian dalam jarak minimal tertentu sesuai dalil syara’), bukan safar lughawi (sekedar bepergian). Safar syar’i jarak minimalnya adalah 4 barid, berdasarkan dalil-dalil hadits dalam masalah safar. Karena 1 barid adalah 4 farsakh, maka jarakminimal safar syar’i adalah 16 farsakh. Menurut hitungan Ali Raghib dalam Ahkamush Sholat hal. 84, jarak 16 farsakh sama dengan 81 km (delapan puluh satu kilometer). Namun konversi yang lebih teliti, sesuai perhitungan Abdul Qadim Zallum dalam Al Amwal fi Daulah Al Khilafah, hal. 60, jarak 16 farsakh sama dengan 88,704 km (delapan puluh delapan koma tujuh nol empat kilometer). (Perhitungan yang sama lihat juga Abdurrahman Al Baghdadi, Serial Hukum Islam, hal. 87) Selama bersafar dalam jarak safar syar’i, maka seseorang mendapatkan beberapa konsekuensi hukum syara’, berupa rukhsah-rukhsah (keringanan), misalnya boleh bertayammum, boleh mengqashar juga menjama’ sholatnya. Juga boleh tidak berpuasa dalam puasa Ramadhan, boleh tidak sholat Jumat, boleh mengusap khuf (penutup kaki) selama tiga hari tiga malam, boleh menggauli isteri pada siang hari pada bulan Ramadhan, dan sebagainya. (Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz I, hal. 134) Yang tidak boleh dilakukan selama bersafar, hakikatnya sama dengan ketika tidak bersafar, yaitu melakukan maksiat, baik meninggalkan yang wajib atau melakukan yang haram. Adapun kaitan maksiat dengan rukhsah-rukhsah bagi musafir (seperti qashar, dan sebagainya), maka imam-imam mujtahidin berbeda pendapat. Imam Ahmad berpendapat bahwa safar yang membolehkan qashar, adalah safar untuk taqarrub, seperti haji, umrah, dan jihad. Imam Malik dan Asy Syafii mengatakan bahwa safar yang membolehkan qashar adalah safar untuk tujuan yang mubah, bukan safar untuk tujuan maksiat. Sementara Imam Abu Hanifah, Ats Tsauri, dan Abu Tsaur, berpendapat safar yang membolehkan qashar adalah semua safar, baik safar untuk taqarrub, safar untuk perkara mubah, maupun safar untuk perkara maksiat. (Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz I, hal. 134) Kami cenderung kepada pendapat Imam Asy Syafii yang mengatakan bahwa safar yang di dalamnya kita boleh mengqashar shalat, adalah safar untuk maksud yang mubah, bukan safar untuk tujuan yang maksiat. Kaidah fiqh menyatakan ar rukhash laa tunaathu bi al ma’ashi (Rukshah-rukhsah itu tidak dapat dikaitkan dengan kemaksiatan) (Lihat Jalaluddin As Suyuthi, Al Asybah wa An Nazha`ir fi Al Furu’, hal. 95). Maka dari itu, jika seseorang melakukan safar untuk suatu tujuan maksiat, seperti safar untuk merampok, untuk berdagang narkoba, untuk membunuh, dan sebagainya, maka dia tidak boleh mengqashar shalatnya. [Perhatikan, ada perbedaan antara maksiat dalam safar, dengan maksiat sebagai tujuan safar].
(1). Bolehkah orang yang sedang safar dan menjama`-qashar sholatnya menjadi ma`mum orang yang tidak sedang safar
(2) Kalau diperbolehkan bagaimana tata caranya.(apakah dengan dua rakaat atau sesuai dengan imam/4 rakaat)
(3) Berapa lama batasan waktu safar dan apa saja konsekuensi dari status safar seseorang (apakah ada syarat-syarat yang tidak boleh dilakukan oleh orang yang sedang safar) (Ahmad Nurudin, Jogja).
(1).Boleh hukumnya seorang musafir menjadi ma’mum orang yang mukim/tidak safar, begitu pula boleh hukumnya orang mukim bermakmum kepada orang musafir (Lihat Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Shalat, hal. 441; Ali Raghib, Ahkamush Sholat, hal. 75). Kebolehannya berdasarkan keumuman nash-nash yang mensyariatkan sholat berjamaah. Selama tidak terdapat nash yang mengecualikannya, maka keumuman hukum sholat berjamaah tetap berlaku untuk setiap sholat berjamaah, termasuk sholat berjamaah bagi musafir yang bermakmum kepada orang mukim, begitu pula sebaliknya. Dan dalam hal ini tidak nash yang melarang musafir bermakmum kepada orang mukim, maka hukumnya adalah boleh.
Bagi para pembaca yang ingin menanyakan masalah Agama kepada KH. M. Shiddiq Al Jawi, silakan isi form pertanyaan di bawah ini. KH. M. Shiddiq Al Jawi insya Allah akan berusaha menjawab pertanyaan dari para pembaca melalui email.