HUKUM HEWAN PERCOBAAN


Oleh : M. Shiddiq Al Jawi



HUKUM HEWAN PERCOBAAN

 

Tanya :

Terkadang para peneliti melakukan tindakan menyakitkan pada tikus (hewan) percobaan  seperti memberikan obat, memberikan penyakit buatan, membunuhnya kemudian mencincang dan memotong-motong untuk keperluan penelitian. Tentu saja penelitian ini untuk kemaslahatan manusia. Bagaimana pandangan Islam dalam hal ini? (Mustolih, Pangkal Pinang)

 

Jawab :

 

Hewan percobaan adalah hewan yang digunakan dalam suatu percobaan (experiment) untuk mengontrol berbagai variabel yang mempengaruhi sistem perilaku dan sistem biologis dalam kondisi terkontrol di bawah penelitian. Dalam penggunaan hewan percobaan ini, seringkali terjadi tindakan pemberian substansi obat yang diujikan, juga pembedahan, atau penyayatan, dan pembunuhan atau mutilasi terhadap hewan percobaan. (https://en.m.wikipedia.org/wiki/Animal_testing). Lalu bagaimanakah hukum penggunaan hewan percobaan dalam syariah Islam?

            Hukum asal penggunaan hewan percobaan ini adalah boleh (jâ`iz) menurut hukum syara’, berdasarkan dua dalil syar’i berikut ini;

Pertama, dalil-dalil umum bahwa Allah SWT telah menundukkan (yaitu membolehkan) segala sesuatu di alam semesta untuk manusia, termasuk di dalamnya adalah hewan. Misalnya firman Allah SWT :

 

أَلَمْ تَرَ أَنَّ ٱللَّهَ سَخَّرَ لَكُم مَّا فِى ٱلْأَرْضِ

 

”Apakah kamu tiada melihat bahwasanya Allah telah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi.” (QS Al Hajj : 65).

Imam Taqiyuddin An Nabhani menafsirkan ayat ini dengan berkata :

 

 

ومعنى تسخيرالله للإنسان جميعا ما في الأرض إباحته لكل ما في الأرض

 

”Makna bahwa Allah menundukkan (taskhîr) bagi manusia semua yang ada di bumi, adalah Allah telah membolehkan bagi manusia setiap-tiap apa yang ada di bumi.” (wa ma’nâ taskhîrillâh lil insâni jamî’a mâ fî al ardhi ibâhatuhu li-kulli mâ fi al ardhi). (Taqiyuddîn An Nabhânî, Al Syakhshiyyah Al Islâmiyyah (Ushûl Al Fiqh), 3/26).  

Kedua, terdapat dalil-dalil hadis Nabi SAW yang membolehkan membunuh hewan untuk mendapatkan suatu kemanfaatan bagi manusia. Di antaranya sabda Rasulullah SAW :

 

من قتل عصفورًا عبثًا عجَّ إلى اللهِ يومَ القيامةِ يقولُ يا ربِّ إنَّ فلانًا قتلني عبَثًا ولم يقتُلْني منفعةً

 

”Barangsiapa yang membunuh seekor burung kecil (‘ushfûr) secara sia-sia (‘abatsa), maka burung itu akan berteriak kepada Allah pada Hari Kiamat dengan berkata,”Wahai Tuhanku, sesungguhnya Fulan telah membunuhku secara sia-sia, dan tidak membunuhku untuk suatu kemanfaatan (wa lam yaqtulnî manfa’atan).” (HR An Nasa`i, no. 4446; Ibnu Hibbân, no. 5894; Ahmad, no. 19.470. Imam Al Mundziri menjelaskan status hadis ini,”Isnadnya shahih atau hasan, atau mendekati shahih dan hasan.”). (Al Mundziri, At Targhîb wa At Tarhîb, 2/162).    

            Hadis tersebut secara manthûq (makna tersurat) mengharamkan membunuh hewan secara sia-sia (‘abatsan) dan tanpa ada manfaatnya bagi manusia. Maka mafhûm mukhâlafah (makna tersirat kebalikannya) dari hadis itu, boleh hukumnya membunuh hewan jika ada manfaatnya untuk manusia. (Majalah Al Waie [Arab], Edisi No. 279, April 2010, hlm. 33).

            Maka dari itu, boleh hukumnya secara syariah menggunakan hewan percobaan dalam berbagai percobaan atau penelitian, selama terdapat manfaat yang diharapkan dari percobaan atau penelitian itu.  Misalnya, uji klinis vaksin Corona yang dilakukan pada monyet, sebagai upaya untuk mendapatkan vaksin Covid-19.

            Dianjurkan (sunnah hukumnya) menggunakan hewan-hewan percobaan tertentu yang dianjurkan oleh syara’ untuk membunuhnya, seperti tikus (al fa`rah), ular (al hayyah), cicak (al wazagh), dan sebagainya. (Majalah Al Waie [Arab], ibid., hlm. 33).  

            Dikecualikan dari bolehnya hewan percobaan, dua kategori hewan yang haram hukumnya dijadikan hewan percobaan; yaitu : (1) hewan-hewan yang zatnya najis, seperti babi; karena terdapat larangan syariah untuk memanfaatkannya (QS Al Mâ`idah : 3); dan (2) hewan-hewan tertentu yang haram dibunuh berdasarkan dalil-dalil syariah yang bersifat khusus, seperti katak (al dhifda’), semut (an namlah), lebah (an nahlah), kelelawar (al khuthâf), dan sebagainya. (Lihat Imam Al Syaukani, Nailul Authâr, Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000; hlm. 1685-1686). Wallahu a’lam.


Artikel Lainnya





Bagi para pembaca yang ingin menanyakan masalah Agama kepada KH. M. Shiddiq Al Jawi, silakan isi form pertanyaan di bawah ini. KH. M. Shiddiq Al Jawi insya Allah akan berusaha menjawab pertanyaan dari para pembaca melalui email.