STUDI KASUS FRANCHISE (WARALABA)


 

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

 

Tanya :

Ustadz saya Nida alumni STEI Hamfara angkatan 2012. Ustad izin bertanya saya sedang mau usaha Franchise Makanan, ustadz.  Syarat di awal membayar 15.000.000 untuk semua peralatan untuk jualan, yaitu gerobak, kompor gas, tempat2 untuk adonan, dll termasuk bahan2 kering untuk adonannya, seperti terigu dll, toping (selai) dll sudah disediakan oleh mereka. Lalu selanjutnya kita hanya membeli bahan kering saja (campuran terigu) untuk adonan kuenya yang nanti kita sudah diberitahu cara mencampur dengan telur, air dllnya. Kita hanya boleh memakai mereknya kalau kita masih beli bahan kering ke pemiliknya. Apa ada terjadi multiakad atau ada unsur keharaman atau akad yang bathil di transaksinya Ustad? Mohon jawabannya ustadz. Jazakallah khairan katsiran Ustadz. (Nida, Bumi Allah).

 

Jawab :

Berdasarkan fakta yang telah dijelaskan oleh penanya di atas, nampak bahwa akad franchise makanan tersebut mengandung pelanggaran syariah berupa multiakad yang telah dilarang syariah,

yaitu franchisor (pemilik merek) melakukan akad pinjam pakai merek (i’ārah al-mārikah al-tijāriyah), yaitu meminjamkan merek kepada franchisee tanpa meminta imbalan kepada franchisee (pengguna merek),  tetapi akad pinjam pakai (al-i’ārah/al-‘āriyah) ini digabungkan dengan dua akad lain sebagai syaratnya, yaitu :

 

Pertama, akad jual beli (al-bai’) pertama, yaitu franchisee disyaratkan harus membeli dari franchisor semua peralatan untuk berjualan, seperti gerobak, kompor gas, tempat-tempat untuk adonan, dll, seharga Rp 15.000.000.

 

Kedua, akad jual beli (al-bai’) kedua, yaitu franchisee disyaratkan harus membeli dari franchisor bahan kering (campuran terigu) untuk adonan kuenya, selama pihak franchisee meminjam merek milik pihak franchisor.

 

Padahal syara’ telah melarang multiakad (hybrid contracts, shafqatayni fī shafqatin wāhidah), berdasarkan banyak hadits-hadis Nabi SAW.  Di antara hadits yang melarang multiakad adalah hadits dari Ibnu Mas’ud RA sebagai berikut :

 

عَنِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ نَهىَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِيْ صَفْقَةٍ وَاحِدَةٍ

 

Dari Ibnu Mas’ud RA, dia berkata, “Bahwa Rasulullah SAW telah melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan (shafqatayni fī shafqatin wāhidah).” (HR. Ahmad, Al-Musnad, I/398). (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islâmiyyah, Juz II, hlm. 308).

 

Hadits tersebut telah melarang apa yang disebut “shafqatayni fī shafqatin wāhidah” yaitu adanya dua kesepakatan dalam satu kesepakatan, yang maksudnya menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani adalah adanya dua akad dalam satu akad (wujūdu ‘aqdayni fī ‘aqdin wāhid), dimana satu akad mempersyaratkan akad yang lain. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakshhiyyah Al-Islāmiyyah, Juz II, Bab Al-Bai’ bi Al-Dayn wa bi Al-Taqsith, hlm. 308-309).

 

Imam Taqiyuddin An-Nabhani memberi contoh-contoh penggabungan dua akad menjadi satu akad yang tidak diperbolehkan dengan contoh-contoh berikut :

 

Pertama, penggabungan dua akad jual beli untuk dua barang yang keduanya dimiliki penjual, agar pembeli membeli kedua barang milik penjual tersebut, yaitu ucapan penjual (ijab) kepada pembeli sebagai berikut :

 

بِعْتُكَ دَارِيْ هَذِهِ عَلىَ أَنْ أَبِيْعَكَ دَارِيْ الأُخْرَى بِكَذَا

 

“Saya jual kepada kamu rumah saya ini atas dasar (syarat) bahwa saya jual kepada kamu rumah saya yang lainnya dengan harga sekian.”

 

Kedua, penggabungan dua akad jual beli, di mana barang yang satu milik penjual dan barang satunya milik pembeli, misalnya ucapan penjual (ijab) kepada pembeli sebagai berikut :

 

بِعْتُكَ دَارِيْ هَذِهِ عَلىَ أَنْ تَبِيْعَنِيْ دَارَكَ بِكَذَ

 

“Saya jual kepada kamu rumah saya ini atas dasar (syarat) bahwa kamu menjual kepada saya rumah kamu dengan harga sekian.”

 

Ketiga, penggabungan akad jual beli dengan akad nikah, di mana penjual menjual barangnya kepada pembeli, dengan ketentuan pembeli menikahkan anak gadisnya dengan penjual, misalnya ucapan penjual (ijab) kepada pembeli sebagai berikut :

 

بِعْتُكَ دَارِيْ هَذِهِ عَلىَ أَنْ تُزَوِّجَنِيْ بِنْتَكَ

 

“Saya jual kepada kamu rumah saya ini atas dasar (syarat) kamu menikahkan aku dengan anak perempuan kamu.”

 

Itulah tiga contoh penggabungan dua akad menjadi satu akad (shafqatayni fī shafqatin wāhidah) yang dikemukakan oleh Imam Taqiyuddin An-Nabhani, dimana satu akad mempersyaratkan akad yang lain. Ketiganya adalah tidak sah menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani. (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islâmiyyah, Juz II, hlm. 308).

 

Maka dari itu, dalam kasus di atas, tidak sah menggabungan akad pinjam pakai (al-i’ārah), yaitu akad pinjam pakai merek oleh pemilik merek kepada pengguna merek, yang mensyaratkan pengguna merek melakukan dua akad jual beli (al-bai’) dengan pemilik merek, yaitu jual beli peralatan dan jual beli bahan mentah (bahan adonan kue). 

 

Solusinya adalah sebagai berikut :

Pertama, pembelian peralatan untuk berjualan, seperti gerobak, dll, seharga Rp 15.000.000, tidak boleh dijadikan syarat yang sifatnya wajib, melainkan dijadikan pilihan (opsional) yang bisa dipilih oleh franshisee. Jadi franchisee harus diberi opsi; boleh memilih membeli peralatan berjualan dari franchisor, dan boleh pula franchisee memilih membeli peralatan tersebut dari pihak lain di luar franschisor.

 

Kedua, pembelian bahan kering (campuran terigu) sebagai adonan kuenya, juga tidak boleh disyaratkan, tapi harus dijadikan pilihan (opsional) yang bisa dipilih oleh franshisee. Jadi franchisee harus diberi opsi; boleh memilih membeli bahan kering dari franchisor, dan boleh pula franchisee memilih membeli bahan kering tersebut dari pihak lain di luar franschisor.

 

Ketiga, tidak boleh pemilik merek (franchisor) merahasiakan resep yang terdapat pada bahan kering, sebaliknya wajib hukumnya pemilik merek menjelaskan resep rahasia tersebut kepada peminjam merek, karena tanpa pemberitahuan resep rahasia yang terdapat dalam bahan kering, akan sia-sia dan tak ada maknanya peminjaman merek yang dilakukan oleh pemilik merek kepada peminjam merek, karena kualitas makanan yang dijual oleh pengguna merek akan berbeda dengan kualitas makanan yang dijual oleh pemilik merek. Hal ini tentu akan menjadi kemudharatan (dharar), seperti kerugian bisnis atau nama buruk di mata konsumen, bagi pihak pemakai merek ketika resep rahasia disembunyikan oleh pihak pemilik merek. Padahal menghilangkan segala bentuk kemudharatan (dharar) hukumnya wajib, sesuai kaidah fiqih :

 

اَلضَّرَرُ يُزَالُ

 

Al-Dharar yuzāl. “Segala bentuk kemudharatan (dharar) wajib hukumnya untuk dihilangkan.” (Syaikh Ahmad bin Syaikh Muhammad Al-Zarqa’, Syarah Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah, hlm. 195; Imam Syaukani, Al-Fath Al-Rabbānī min Fatāwā Al-Imām Al-Syaukānī, hlm. 3921).

 

Dan jika kewajiban menghilangkan kemudharatan (dharar) ini tidak dapat sempurna kecuali demngan memberitahukan resep rahasia, maka pemberitahuan resep rahasia menjadi wajib hukumnya. Kaidah fiqih dalam masalah ini menyebutkan :

 

مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فِهُوَ وَاجِبٌ

 

Mā lā yatimmul wājibu illā bihi fahuwa wājib. “Jika suatu kewajiban tak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib hukumnya”. (Wajīh Kamāl Al-Dīn, Ma’ālim Ushūl Al-Fiqh ‘Inda Ahli As-Sunnah wa Al-Jamā’ah, hlm. 304).

 

Ini jika akadnya belum terjadi, dan dilakukan koreksi-koreksi sesuai solusi alternatif di atas sebelum kedua pihak melakukan akad franchise. Adapun jika akadnya sudah terlanjur terjadi, maka akadnya dibatalkan lebih dulu (dilakukan fasakh/’iqālah), dimana barang kembali dan uang kembali. Kemudian, setelah dilakukan fasakh/’iqālah tersebut, kedua pihak membuat akad baru dengan beberapa alternatif solusi yang bisa dipilih, di antaranya sebagai berikut :

Pertama, mengubah pokok akad dari pinjam pakai merek, menjadi sewa merek.

Kedua, mengubah akad franchise menjadi jual beli bahan kering saja, tanpa menggunakan merek dari pemilik merek (penjual bahan kering). Jadi pihak pembeli menggunakan merek sendiri, bukan merek pihak penjual bahan kering.

Ketiga, pembelian bahan kering yang berkelanjutan ini juga sifatnya tidak boleh menjadi keharusan (disyaratkan), melainkan sifatnya harus opsional. Wallāhu a’lam.

 

Ternate, 26 Januari 2024

 

Muhammad Shiddiq Al-Jawi

 


Artikel Lainnya





Bagi para pembaca yang ingin menanyakan masalah Agama kepada KH. M. Shiddiq Al Jawi, silakan isi form pertanyaan di bawah ini. KH. M. Shiddiq Al Jawi insya Allah akan berusaha menjawab pertanyaan dari para pembaca melalui email.