Diasuh Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi Tanya : Ustadz, apa hukumnya bercanda (bergurau)? Bagaimanakah batasan atau kaidahnya dalam fiqih Islam? (Malayati, Bandung). Jawab : Canda (gurauan) dalam bahasa Arab disebut mizaah atau mumaazahah. Al Jailani dalam Syarah Al Adabul Mufrod mendefinisikan canda adalah berbicara secara ramah dan menciptakan kegembiraan terhadap orang lain. (Ath Thahthawi, Senyum dan Tangis Rasulullah, hlm. 116). Hukum bercanda menurut Imam Nawawi dalam kitabnya Al Adzkar An Nawawiyyah adalah mubah (diperbolehkan syariah). Bahkan dalam kitab tersebut Imam Nawawi mengatakan bercanda yang hukum asalnya mubah, dapat menjadi sunnah jika bertujuan untuk merealisasikan kebaikan, atau untuk menghibur lawan bicara, atau untuk mencairkan suasana. (An Nawawi, Al Adzkar An Nawawiyyah, hlm. 279). Sejalan dengan pendapat Imam Nawawi, Imam Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan,”Candaan yang bersih dari segala yang dilarang dalam agama hukumnya mubah. Apabila bertepatan dengan suatu kemaslahatan seperti menghibur lawan bicara atau mencairkan suasana, maka hukumnya mustahab (sunnah).” (Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Bari, Juz X, hlm. 257). Dalil bolehnya bercanda adalah hadits-hadits Nabi SAW. Di antaranya dari Abu Hurairah RA, bahwa para shahabat pernah bertanya kepada Nabi SAW,”Wahai Rasulullah, sesungguhnya Anda telah mencandai kami.” Nabi SAW menjawab,”Sesungguhnya tidaklah aku berbicara, kecuali yang benar.” (HR Tirmidzi). (An Nawawi, Al Adzkar An Nawawiyyah, hlm. 279). Dalil lainnya, Nabi SAW pernah menjawab pertanyaan dengan nada bercanda. Dari Anas bin Malik RA, bahwa suatu ketika ada seorang laki-laki datang menghadap Nabi SAW kemudian berkata,”Wahai Rasulullah, tolong bawa aku (naik tunggangan).” Nabi SAW menjawab dengan nada canda,”Kami akan menaikkan kamu di atas anak unta.” Lelaki itu bertanya,”Apa yang bisa aku perbuat dengan seekor anak unta?” Nabi SAW menjawab,”Bukankah unta dewasa itu sebenarnya juga anak unta?” (HR Abu Dawud). Dalil lainnya, Nabi SAW pernah bercanda dengan seorang nenek tua. Dari Al Hasan RA, bahwa pernah seorang nenek tua berkata kepada Nabi SAW,”Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar Allah memasukkan aku ke dalam surga.” Nabi SAW pun menjawab,”Wahai Ummu Fulan, surga itu tidak mungkin dimasuki oleh nenek tua.” Nenek tua itu pun pergi sambil menangis. Nabi SAW pun bersabda kepada para shahabat,”Kabarilah dia bahwa surga tidaklah mungkin dimasuki oleh dia sedangkan dia dalam keadaan tua. Karena Allah Ta’ala berfirman (artinya),”Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan penuh cinta lagi sebaya umurnya.” (QS Al Waqi’ah : 35-37). (HR Tirmidzi). Artinya, orang yang masuk surga itu memang tidak ada yang tua, karena orang yang sudah tua di dunia akan menjadi muda lagi setelah masuk surga. Berdasarkan dalil-dalil di atas, bercanda itu hukumnya adalah mubah. Hanya saja, canda yang diperbolehkan adalah yang bersih dari segala sesuatu yang dilarang dalam agama Islam, sebagaimana perkataan Imam Ibnu Hajar Al Asqalani. Maka perlu diperhatikan syarat-syarat atau batasan-batasan kebolehan bercanda, di antaranya : (1) tidak mengolok-olok atau mempermainkan ajaran Islam. (QS At Taubah : 65-66); (2) tidak mengejek atau menyakiti perasaan orang lain. (QS Al Hujurat : 11); (3) tidak mengandung kebohongan. (QS Al Ahzab : 70-71); (4) tidak mengandung ghibah (menggunjing) orang lain. (QS Hujurat : 12); (5) tidak mengandung kecabulan (rafats) seperti canda-canda yang porno. (QS Al Baqarah : 197); (6) tidak melampaui batas, yakni tidak melalaikan suatu kewajiban atau menjerumuskan kepada suatu keharaman. (Lihat ‘Aadil bin Muhammad Al ‘Abdul ‘Aal, Pemuda dan Canda, hlm. 38-44). Wallahu a’lam.
Bagi para pembaca yang ingin menanyakan masalah Agama kepada KH. M. Shiddiq Al Jawi, silakan isi form pertanyaan di bawah ini. KH. M. Shiddiq Al Jawi insya Allah akan berusaha menjawab pertanyaan dari para pembaca melalui email.