Diasuh Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi Tanya : Ustadz, di pulau Bangka banyak masyarakat yang bekerja mencari tambang timah. Bagaimana ketentuan hukum khumusnya? Kepada siapa disalurkan khumus tersebut mengingat Baitul Mal tidak ada sekarang? (Sofyan Rudianto, Pangkalpinang) Jawab : Sebelumnya perlu dipahami tambang (al ma’din) ada 2 (dua) ditinjau dari banyak sedikitnya kandungannya. Pertama, tambang yang kandungannya besar. Tambang ini milik umum (milkiyyah ‘aammah), sehingga individu masyarakat tidak boleh menambangnya. Yang berhak menambang hanyalah negara (daulah Islamiyah) sebagai wakil umat Islam. Kedua, tambang yang kandungannya sedikit. Tambang ini boleh dimiliki oleh individu (milkiyyah fardiyyah), sehingga individu masyarakat boleh menambangnya. (Abdul Qadim Zallum, Al Amwaal fii Daulah Al Khilaafah, hlm. 117). Jika individu masyarakat melakukan penambangan pada tambang kategori kedua tersebut, yaitu yang kandungannya sedikit, maka dia mempunyai kewajiban mengeluarkan khumus (seperlima) dari hasil tambang yang diperolehnya. Imam Abdul Qadim Zallum berkata,”Setiap orang yang mendapatkan rikaaz (harta yang terpendam di bumi) atau mendapatkan tambang (al ma’din), diambil darinya seperlima (al khumus), baik yang menemukan laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun orang dewasa, berakal maupun gila, muslim maupun kafir dzimmi. Dan diambil seperlima (al khumus) dari jumlah berapa saja dia mendapatkan, baik sedikit maupun banyak.” (Abdul Qadim Zallum, Al Amwaal fii Daulah Al Khilaafah, hlm. 117). Dalil wajibnya mengeluarkan seperlima (al khumus) dari hasil tambang itu adalah hadits dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, dia berkata,”Rasulullah SAW telah ditanya mengenai harta temuan (luqathah). Maka Rasulullah SAW bersabda,’Apa saja yang ada di jalan yang didatangi [orang] atau di suatu kampung yang ramai, maka umumkanlah harta temuan itu selama satu tahun. Maka jika datang pemiliknya [berikanlah] dan jika tidak datang, maka barang itu menjadi milik kamu. Dan apa saja yang tidak ada di jalan yang didatangi [orang] dan tidak pula di suatu kampung yang ramai, maka pada harta temuan (luqathah) itu dan juga pada rikaaz wajib dikeluarkan seperlimanya (khumus).” (HR An Nasa`i, Sunan An Nasa`i Al Kubro, no 5828). Imam Taqiyuddin An Nabhani menyamakan rikaaz itu dengan tambang (ma’din), yaitu segala sesuatu harta yang ada di bumi yang bersifat asli (bukan buatan manusia), yaitu yang diciptakan oleh Allah SWT. Ini sejalan dengan pendapat Imam Abu Ubaid (Al Amwal, hlm. 340, nomor hadits 871), yang juga menyamakan hukum rikaaz dengan ma’din, berdasarkan riwayat dari Ali bin Abi Thalib RA. (Taqiyuddin An Nabhani, Al Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 79; Ibrahim Fadhil Ad Dabuw, Al Ma’aadin wa Al Rikaaz, Baghdad : Dar Al Risaalah, t.t., hlm. 10). Hanya saja, khumus tersebut bukanlah zakat, melainkan berkedudukan seperti fai` (harta rampasan perang). Inilah pendapat yang dipandang rajih (kuat) oleh Imam Abdul Qadim Zallum. Khumus ini diserahkan kepada Baitul Mal, untuk disalurkan pada kemaslahatan kaum muslimin sesuai pendapat Khalifah. (Al Amwaal fii Daulah Al Khilaafah, hlm. 116). Dalam kondisi ketika Baitul Mal tidak ada, kewajiban khumus tidak gugur, melainkan tetap wajib dikeluarkan, selama terwujud sebabnya, yaitu didapatkannya hasil tambang. Kewajiban khumus tetap wajib dilaksanakan semaksimal mungkin, walaupun bukan disalurkan ke Baitul Mal, melainkan disalurkan secara langsung kepada kaum muslimin, sesuai sabda Nabi SAW,”Jika aku perintahkan kamu untuk melakukan suatu perkara, maka lakukanlah itu sekuat kemampuanmu.” (HR Bukhari, no 6858). Wallahu a’lam.
Bagi para pembaca yang ingin menanyakan masalah Agama kepada KH. M. Shiddiq Al Jawi, silakan isi form pertanyaan di bawah ini. KH. M. Shiddiq Al Jawi insya Allah akan berusaha menjawab pertanyaan dari para pembaca melalui email.