Diasuh Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi Tanya : Ustadz, apa hukumnya koperasi?Apakah koperasi sesuai syariah? Jawab : Koperasi didefinisikan sebagai badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum yang berlandaskan pada asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi. Dalam Undang-Undang RI No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian disebutkan pada pasal 5 bahwa dalam pelaksanaannya, sebuah koperasi harus melaksanakan beberapa prinsip koperasi, yaitu : Pertama, keanggotaan koperasi bersifat sukarela (tanpa paksaan) dan terbuka (tanpa diskriminasi atau pembatasan). Kedua, pengelolaan koperasi dilakukan secara demokratis, yakni berdasarkan kehendak dan keputusan para anggota. Ketiga, sisa hasil usaha (SHU) yang merupakan keuntungan dari usaha yang dilakukan oleh koperasi dibagi berdasarkan besarnya jasa masing-masing anggota, yakni maksudnya tak semata berdasarkan modal. Keempat, modal diberi balas jasa secara terbatas, yakni maksudnya secara wajar dengan tak melebihi suku bunga di pasar. Kelima, koperasi bersifat mandiri, yakni tanpa tergantung pada pihak lain. (Yahya Abdurrahman, Tinjauan Kritis Seputar Koperasi, hlm. 13-15; Walid Naji Al Hayali, Muhasabah Al Jam’iyat At Ta’awuniyah, hlm. 20). Dalam literatur fiqih kontemporer, koperasi disebut dengan istilah al jam’iyat at ta’awuniyah atau al syarikat at ta’awuniyah. (Mahmud Syaltut, Al Fatawa, hlm. 348; Al Khayaal, Mulakhkhash As Syarikat fi Al Iqtishadi Al Islami, hlm. 35). Para ulama kontemporer berbeda pendapat mengenai hukum koperasi dalam dua pendapat. Pertama, membolehkan, seperti pendapat Abdurrahman Isa dalam Al Muamalat Al Haditsah wa Ahkamuha (hlm. 65-68). Kebolehan ini didasarkan pada kaidah fiqih al ashlu fi al ‘uqud al ibahah (hukum asal akad adalah boleh). (Abdul Aziz Khayyath, As Syarikat fi As Syariah Al Islamiyah, 2/195). Maka pendapat ini membolehkan koperasi selama tak menyalahi syariah misalnya mengandung transaksi riba. Kedua, mengharamkan, seperti pendapat Khalid Abdurrahman Ahmad dalam At Tafkir Al Iqtishadi fi Al Islam (hlm. 140-142) alasannya antara lain cara bagi hasil koperasi tidak sesuai hukum syirkah. Menurut kami, yang rajih (kuat) adalah pendapat yang mengharamkan, karena lebih tepat dalam pemahaman fakta dan dalil. Kaidah al ashlu fi al ‘uqud al ibahah tak tepat dan tak dapat digunakan, sebab jika ditelusuri dalilnya, kaidah ini ternyata dirumuskan dari kaidah fiqih lain yaitu al ashlu fi al asy-yaa` al ibahah (hukum asal benda adalah boleh) yang hanya berlaku untuk benda (materi), seperti hewan atau tumbuhan, bukan untuk muamalah. (Abdul Aziz Khayyath, As Syarikat fi As Syariah Al Islamiyah, 2/195). Menurut Imam Taqiyuddin An Nabhani, koperasi hukumnya haram karena dua alasan; Pertama, karena pada saat pendirian koperasi, tak terdapat akad yang syar’i sebagaimana akad syirkah. Yang terjadi hanyalah kesepakatan untuk mengumpulkan modal dari para pendiri koperasi (syarik mal), namun tidak terdapat pihak pengelola modal (syarik badan) pada awal akad itu. Dalam akad syirkah, sejak awal akad wajib ada pihak pengelola modal (syarik badan). Kedua, sistem bagi hasil koperasi tidak sesuai dengan cara bagi hasil dalam syirkah. Dalam syirkah, bagi hasil mengacu pada modal atau kerja, atau sekaligus pada modal dan kerja. Sementara pada koperasi, bagi hasil tidak mengacu pada modal dan/atau kerja, melainkan pada kuantitas penjualan produk ke pasar (pada koperasi pemasaran), atau kuantitas belanja anggota pada koperasi (pada koperasi pembelian), atau kuantitas kredit yang diambil anggota ditambah bunga dan bea administrasi (pada koperasi simpan pinjam). Ini membuat koperasi menjadi akad fasid (rusak). Berdasarkan dua alasan ini, koperasi adalah akad yang batil (tak sah) dan haram hukumnya. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm.171). Wallahu a’lam.
Bagi para pembaca yang ingin menanyakan masalah Agama kepada KH. M. Shiddiq Al Jawi, silakan isi form pertanyaan di bawah ini. KH. M. Shiddiq Al Jawi insya Allah akan berusaha menjawab pertanyaan dari para pembaca melalui email.