Diasuh Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi Tanya : Ustadz,ketika saya mengurus perizinan usaha, saya dimintai uang oleh oknum pegawai yang mengurus perizinan. Kalau saya tidak memberi uang, perizinan lama keluarnya. Bagaimana menyikapinya? (Yudi, Blitar). Jawab : Kondisi tersebut dalam pandangan Islam sesungguhnya adalah pilihan di antara dua hal berikut, pertama, berbuat maksiat, yaitu memberikan suap (risywah) atau hadiah yang tidak sah kepada oknum tersebut. Kedua, tidak berbuat maksiat, yaitu tidak memberikan suap atau hadiah kepada oknum tersebut, tetapi hal ini akan mengakibatkan kelemahan, misalnya kelambatan dalam usaha yang akan dilakukan. Dalam kondisi seperti inilah, Islam mengajarkan sikap untuk tidak berbuat maksiat walaupun akan menghadapi risiko terjadinya suatu kelemahan. Sikap inilah yang wajib menjadi pegangan seorang muslim pada zaman seperti ini. Abu Hurairah RA meriwayatkan bahwa Rasululullah SAW telah bersabda : يَأْتِيْ عَلىَ النَاسِ زَمَانٌ يُخَيِرُ فِيْهِ الرَجُلُ بَيْنَ الْعَجْزِ وَالْفُجُوْرِ فَمَنْ أَدْرَكَ ذَلْكَ الزَمَانَ فَلْيَخْتَرِ الْعَجْزَ عَلىَ الْفُجُوْرِ “Akan datang pada manusia suatu zaman ketika seseorang harus memilih antara kelemahan dan kemaksiatan. Maka barangsiapa yang menjumpai zaman itu, hendaklah dia memilih kelemahan daripada berbuat maksiat.” (HR Al Hakim, dalam Al Mustadrak, Juz IV no 8352. Hadits shahih. Lihat Imam Jalaluddin As Suyuthi, Al Jami’ Al Shaghir, Juz II hlm. 34). Hadits di atas dengan jelas menunjukkan bahwa jika pada suatu zaman seorang muslim harus memilih antara kemaksiatan atau kelemahan, maka dia wajib memilih kelemahan. Namun perlu diyakini bahwa di balik kelemahan itu, hakikatnya adalah ketaatan kepada Allah SWT. Dengan demikian, sikap yang digariskan Islam untuk kasus di atas sudah jelas, yaitu sama sekali tidak boleh memberikan uang atau pemberian dalam bentuk apapun kepada oknum yang meminta uang untuk mempercepat perizinan, baik sedikit maupun banyak, baik sebelum perizinan keluar maupun setelah perizinan keluar. Hal itu karena pemberian itu tergolong suap (risywah) atau hadiah yang telah diharamkan Islam. Islam dengan tegas telah mengharamkan suap. Dari Abdullah bin ‘Amr RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda : لَعْنَةُ اللهِ عَلىَ الرَاشِيْ وَالْمُرْتَشِيْ “Laknat Allah atas setiap orang yang memberi suap dan yang menerima suap.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah). Dari Tsauban RA, dia mengatakan : لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلمَ الرَاشِيْ وَالْمُرْتَشِيْ وَالرَئِيْسَ بَيْنَهُمَا “Rasulullah SAW telah melaknat setiap orang yang memberi suap, yang menerima suap, dan yang menjadi perantara di antara keduanya.” (HR Ahmad). Islam juga mengharamkan hadiah kepada pejabat penentu kebijakan atau kepentingan, yang semestinya kepentingan itu dapat terlaksana tanpa pembayaran. Banyak dalil-dalil syariah yang menegaskan haramnya pejabat untuk menerima hadiah yang seperti itu. Di antaranya hadits dari Jabir bin Abdullah RA bahwa Nabi SAW bersabda : هَدَايَا الأُمَرَاءِ غُلُوْلٌ “Hadiah-hadiah yang diberikan kepada para pemimpin adalah harta khianat (hadaya al-umara` ghulul).” (HR Thabrani dalam Al Awsath no 5126. Dalam Majma’ Az-Zawaid Juz IV/151 Imam Al-Haitsami berkata,”Sanad hadis ini hasan”). Dari Buraidah RA bahwa Nabi SAW bersabda : مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلىَ عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَهُ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَغُلُوْلٌ ”Barangsiapa yang telah kami angkat untuk melakukan sesuatu tugas, lalu dia telah kami beri gaji, maka apa saja yang diambilnya selain daripada gaji adalah harta khianat (ghulul).” (HR Abu Dawud no 2554. Hadis sahih. Lihat Nasiruddin Al-Albani, Sahih At-Targhib wa At-Tarhib, Juz I/191). Hadits-hadits di atas dengan jelas telah menegaskan keharaman hadiah kepada pejabat atau pihak penentu kepentingan, yang seharusnya dapat merealisasikan suatu kepentingan tanpa pembayaran karena pejabat itu sudah digaji untuk melaksakan kepentingan itu. Demikianlah penjelasan singkat mengenai sikap yang harus diambil ketika seorang muslim dihadapkan pada dua pilihan, yaitu antara kelemahan atau kemaksiatan. Kita telah berada pada zaman yang menghadirkan dua pilihan tersebut. Zaman yang disabdakan Nabi SAW sekitar 1400 tahun yang lalu itu bentuknya adalah sistem kapitalisme-sekuler yang mencengkeram umat saat ini. Dalam sistem yang rusak ini, baik rusak sistemnya maupun rusak birokratnya, kita wajib bersabar dan berjuang. Bersabar dalam menghadapi tantangannya, yaitu tidak mau terjerumus dalam kemaksiatan walaupun berakibat kelemahan. Dan di samping itu kita wajib berjuang, yaitu berusaha mengubah sistem kapitalisme-sekuler yang kufur dan merusak menjadi sistem ekonomi Islam yang halal dan berkah. Wallahu a’lam.
Bagi para pembaca yang ingin menanyakan masalah Agama kepada KH. M. Shiddiq Al Jawi, silakan isi form pertanyaan di bawah ini. KH. M. Shiddiq Al Jawi insya Allah akan berusaha menjawab pertanyaan dari para pembaca melalui email.