HUKUM MENGUBUR JENAZAH DI LAUT (KASUS USAMAH BIN LADEN)


 

Diasuh Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi

 

Tanya :

Ustadz, bolehkah mengubur jenazah ke dalam laut? Misalnya seperti kasus Usamah bin Laden. (Amiruddin S., Bogor)

 

Jawab :

Para fuqaha sepakat jika seorang muslim meninggal di kapal yang sedang berlayar di laut, dia wajib dimandikan, dikafani, dan disholatkan. Namun penguburannya wajib menunggu sampainya kapal di pantai agar dapat dikuburkan di darat. Hukum ini dilaksanakan dengan dua syarat; Pertama, apabila jarak ke pantai tak jauh, yakni  dapat ditempuh sekitar satu-dua hari. Kedua, jenazahnya belum berubah (membusuk). (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, II/675; Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, I/362).

 

Dalilnya hadits Anas RA bahwa seorang sahabat Nabi SAW yaitu Abu Thalhah RA pernah naik kapal di laut lalu meninggal. Orang-orang tak menemukan pulau untuk menguburkannya, kecuali setelah tujuh hari, sedang jenazah Abu Thalhah belum berubah (membusuk). (HR Ibnu Hibban, no 7184. Kata Imam Nawawi, hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dengan sanad sahih. Lihat Imam Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, V/286).  

 

Namun jika jarak kapal ke pantai jauh atau jika dikhawatirkan jenazahnya akan berubah walau jarak ke pantai dekat, para fuqaha sepakat jenazah boleh dikuburkan di laut, meski mereka berbeda pendapat mengenai tatacara penguburannya. (Abdurrahman bin Sa’ad bin Ali Al-Syatsri, At-Tadzkirah fi Ahkam Al-Maqbarah, hlm. 117).

 

Mengenai tatacara penguburannya, ulama madzhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i berpendapat yang lebih utama ialah mengikat jenazah di antara dua papan, lalu menceburkan jenazah ke laut jika diketahui penduduk pantainya kaum muslimin. Jika penduduk pantainya orang-orang kafir, jenazah diberi pemberat semisal batu lalu diceburkan ke laut agar tenggelam ke dasar laut. Sedang menurut madzhab Hambali, jenazah diberi pemberat lalu diceburkan ke laut agar tenggelam ke dasar laut, baik penduduk pantainya muslim maupun kafir. (Abdurrahman Ad-Dimasyqi, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al-A`immah, hlm. 71; Yasin Ghadiy, Al-Durr Al-Mantsur fi Ahkam Al-Qubur, hlm. 253; Muhammad Abdurrahman ‘Iwadh, Ahkam Al-Janazah, hlm. 62).

 

Menurut kami, yang rajih (kuat) adalah pendapat madzhab Hambali, karena lebih berhati-hati mengingat jenazah muslim memiliki kehormatan yang wajib dijaga, sebagaimana kehormatan orang hidup. Imam Ibnu Qudamah berkata,”Pendapat Imam Ahmad lebih utama karena dengan menenggelamkan jenazah akan tercapai maksud penguburan yaitu melindungi jenazah. Kalau diletakkan di antara dua papan, jenazah kemungkinan dapat berubah atau rusak, atau mungkin akan sampai ke pantai dalam keadaan rusak dan telanjang, atau mungkin jenazah itu akan jatuh ke tangan kaum musyrikin.” (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, III/25; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, II/676).

 

Demikianlah hukum syara’ tentang mengubur jenazah muslim di laut. Perlu diperhatikan bahwa hukum ini hanya berlaku untuk muslim yang meninggal di laut, bukan yang meninggal di darat lantas dikubur di laut.

 

Maka dari itu penguburan jenazah Usamah bin Ladin ke laut, tak sesuai dengan hukum syara’ menurut madzhab fiqih mana pun. Sebab Usamah tak meninggal di laut, melainkan meninggal di darat, yaitu di kota Abottabad, Pakistan, karena dibunuh kaum kafir penjajah (AS) secara kejam.

 

Jadi klaim kaum kafir penjajah bahwa penguburan jenazah Usamah di laut sudah sesuai dengan hukum Islam adalah kebohongan besar dan hanya tipuan keji untuk menyesatkan kaum muslimin. Apa yang dilakukan kafir penjajah terhadap Usamah bukanlah praktik hukum Islam, melainkan tindakan biadab yang menunjukkan kebenciannya yang sangat dalam atas Islam dan kaum muslimin di seluruh dunia. Wallahu a’lam.

 


Artikel Lainnya





Bagi para pembaca yang ingin menanyakan masalah Agama kepada KH. M. Shiddiq Al Jawi, silakan isi form pertanyaan di bawah ini. KH. M. Shiddiq Al Jawi insya Allah akan berusaha menjawab pertanyaan dari para pembaca melalui email.