HUKUM SYIRKAH MEMELIHARA HEWAN


Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi

 

 

Tanya :

Ustadz, mau bertanya tentang kerjasama seperti ini. Pihak A modalnya kambing, sedang pihak B modalnya lahan dan kandang yang didirikan di atas lahan milik B. Pihak B yang merawat kambing, dengan ketentuan pakan dan kebutuhan konsumsi ditanggung B. Nanti kalau terjual keuntungannya dibagi oleh untuk A dan B. Kerjasama seperti ini apakah terkatagori batil? (Edy Subroto, Jogjakarta).

 

Jawab :

Muamalah tersebut dalam fiqih Islam disebut syirkah, yaitu salah satu jenis syirkah mudhârabah. Imam Taqiyuddin An Nabhani berkata,”Termasuk syirkah mudharabah,  berserikatnya dua pemodal dengan pengelola modal salah satu dari keduanya.” (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizhâm Al Iqtishâdi fî Al Islâm, hlm. 151).

Namun syirkah tersebut batil secara syariah, karena terdapat dua pelanggaran syariah (mukhâlafât syar’iyyah) pada rukun syirkah, yaitu modal syirkah;

Pertama, penyimpangan dalam modal yang diserahkan oleh A, yaitu berupa kambing. Demikian juga modal yang yang diserahkan oleh B yang berupa lahan dan kandang. Modal seperti ini tidak sah menurut hukum syirkah Islami, karena modal itu wajib berupa uang tunai (an nuqûd), bukan berupa barang (al ‘urûdh).

Menurut jumhur ulama, yaitu ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, modal wajib berupa uang tunai, tidak boleh berupa barang. (Al Fatâwâ Al Hindiyyah, 4/285; Imam Malik, Al Muwaththa`, Juz II, hlm. 689; Abu Ishaq Al Syirazi, Al Muhadzdzab, Juz I, hlm. 385; Ibnu Qudamah, Al Mughni, Juz VII, hlm. 123).

Namun sebagian ulama seperti Ibnu Abi Laila, Hammad bin Abu Sulaiman, Thawus, dan Auza’i, membolehkan modal berupa barang. (Ibnu Qudamah, Al Mughni, Juz V, hlm.11).

Pendapat yang rajih (lebih kuat), adalah pendapat jumhur ulama, sebagaimana pendapat yang dipilih oleh  Imam Taqiyuddin An Nabhani. Dalam kitabnya An Nizhâm Al Iqtishâdi fî Al Islâm, beliau menegaskan,”Adapun barang, maka tidak boleh syirkah dengan modal berupa barang, kecuali jika barang itu dihitung nilainya saat akad, dan nilainya pada saat akad itu dijadikan sebagai modal.” (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizhâm Al Iqtishâdi fî Al Islâm, hlm. 150).

Imam Nawawi menjelaskan alasan tarjihnya, bahwa jika modalnya berupa barang, maka saat syirkah berakhir, modal akan dikembalikan kepada para pihak dengan harga yang dapat merugikan para pihak. Jika saat pengembalian barang itu harganya naik, maka akan menguntungkan shahibul mal tetapi merugikan mudharib. Jika harganya turun, akan merugikan shahibul mal tapi menguntungkan mudharib. Walhasil, modal berupa barang akan berpotensi menimbulkan dharar (berupa kerugian). (Imam Nawawi, Al Majmû’ Syarah Al Muhadzdzab, Juz 14, hlm.358).

Kedua, penyimpangan dalam modal yang diserahkan B, yaitu pakan dan kebutuhan konsumsi untuk kambing yang ditanggung oleh B. Penyimpangan kedua ini jika dirinci akan terdiri dari tiga macam penyimpangan, yaitu : (1) modalnya berupa barang (al ‘urûdh), bukan berupa uang tunai. Dalam kasus ini, modal yang diserahkan B berupa pakan dan kebutuhan konsumsi untuk kambing, (2) modalnya berupa harta yang ghâib (tidak hadir) dalam majelis akad, karena pakan kambing itu belum ada saat akad, dan (3) modalnya majhûl (tidak tidak diketahui besarnya secara jelas).

Ketiga macam penyimpangan tersebut menyalahi syarat-syarat yang wajib ada pada modal syirkah. Imam Taqiyuddin An Nabhani menjelaskan syarat-syarat modal syirkah dengan berkata,”Disyaratkan modal itu harus ma’lûm (diketahui dengan jelas jumlahnya) yang memungkinkan untuk melakukan tasharruf padanya secara segera. Maka tidak boleh modal syirkah itu berupa modal yang majhûl (tidak diketahui dengan jelas jumlahnya), tidak boleh juga berupa modal yang ghâib (tak hadir di majelis akad), atau berupa piutang (al dain), karena  tidak boleh tidak [kedua pihak] harus merujuk pada modal [yang ma’lûm itu] pada saat berakhirnya syirkah.” (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizhâm Al Iqtishâdi fî Al Islâm, hlm. 150). Wallahu a’lam.

 


Artikel Lainnya





Bagi para pembaca yang ingin menanyakan masalah Agama kepada KH. M. Shiddiq Al Jawi, silakan isi form pertanyaan di bawah ini. KH. M. Shiddiq Al Jawi insya Allah akan berusaha menjawab pertanyaan dari para pembaca melalui email.