HUKUM SEMUT JEPANG


 

Diasuh Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi

 

Tanya :

Ustadz, apa hukumnya berobat dengan makan semut Jepang? Konon berkhasiat menurunkan kolesterol. Cara makannya, semut dimakan hidup-hidup, bisa ditelan bareng pisang, atau dimasukkan ke dalam kapsul baru ditelan. Bisa juga semut dimatikan dulu dengan dimasukkan ke dalam air panas, diaduk dengan dengan air dingin, baru diminum. (Abdul Waajid, Sleman).

 

Jawab :

            Semut Jepang secara fakta biologi sebenarnya bukan termasuk semut. Sebab semut  termasuk ordo Hymenoptera, sedangkan semut Jepang termasuk ke ordo Coleoptera. Nama ilmiahnya Tenebrio molitor atau sering disebut kumbang beras atau kutu beras. Dalam bahasa Malaysia semut Jepang disebut dengan istilah kumbang Makkah. Larva (ulat) semut Jepang ini dikenal dengan sebutan ulat Hongkong (meal worm/yellow meal worm) yang biasanya dijadikan pakan ikan, burung, atau reptil. Semut Jepang dipercaya berkhasiat untuk menyembuhkan beberapa penyakit seperti kolesterol, gula darah, asam urat, dan lain-lain. (wanenoor.blogspot.com).

 

            Bolehkah memakan semut Jepang tersebut untuk kepentingan berobat? Menurut kami hukumnya mubah (boleh). Hanya saja cara mematikannya tidak boleh dengan cara memasukkannya ke dalam air panas.

            Dalil kemubahannya adalah kaidah fiqih yang menetapkan bahwa :

 

الأصل في الأشياء الإباحة ما لم يرد دليل التحريم

Al ashlu fi al asy-yaa` al ibaahah maa lam yarid daliil at tahriim (hukum asal benda-benda adalah boleh selama tidak terdapat dalil yang mengharamkan). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/26; Imam Jalaluddin As Suyuthi, Al Asybah wa An Nazha`ir, hlm. 60; Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 1688).

 

Dalam masalah semut Jepang ini, sejauh pengetahuan kami tidak terdapat dalil syar’i yang sahih yang mengharamkannya, maka hukumnya dikembalikan pada hukum asal, yaitu boleh.

 

Memang ada pendapat yang mengatakan semut Jepang hukumnya haram. Alasannya karena ada dalil yang melarang membunuh semut. Padahal kaidah fiqih menetapkan bahwa kullu maa hurrima qatluhu lam yubih akluhu (setiap binatang yang haram dibunuh, tidak boleh dimakan). Dari Ibnu Abbas RA, dia berkata :

 

إِنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ قَتْلِ أَرْبَعٍ مِنَ الدَّوَابِّ النَّمْلَةُ وَالنَّحْلَةُ وَالْهُدْهُدُ وَالصُّرَدُ

”Sesungguhnya Nabi SAW telah melarang membunuh empat macam binatang (ad dawaab), yaitu semut (an namlah), lebah (an nahlah), burung hud-hud, dan burung shurad.” (HR Ahmad, 1/332; Abu Dawud, no 5267; Ibnu Majah, no 3224). )Imam Nawawi, Al Majmuu’ Syarah Al Muhadzdzab, 9/19; Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 1686; Abdullah bin Husain Al Maujan, Ahkamul Hayawan fi Al Fiqh Al Islami, hlm. 91).

 

Menurut kami hadits di atas tidak tepat diterapkan pada semut Jepang. Karena sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, semut Jepang itu hakikatnya bukanlah semut, melainkan sejenis kutu beras atau kumbang beras. Maka dari itu mengharamkan semut Jepang berdasarkan hadits Ibnu Abbas RA tersebut bukanlah istidlaal (pengamalan dalil) yang sahih.

 

Ada pula pendapat yang mengharamkan semut Jepang karena dianggap termasuk al hasyaraat )hewan-hewan kecil yang hidup di permukaan bumi, seperti tikus, serangga, ular) yang diharamkan memakannya, karena dianggap buruk/menjijikkan (khaba`its) oleh orang Arab, khususnya orang kota (ahlul amshar) dari penduduk Hijaz (ahlul Hijaz), disamakan dengan sifat Rasulullah SAW yang mengharamkan apa-apa yang dianggap buruk/menjijikkan (al khaba`its), sebagaimana firman Allah SWT :

 

وَيُحِلُّ لَهُمْ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمْ الْخَبَائِثَ

Dan (Rasul) menghalalkan bagi mereka segala yang baik (thayyibat) dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk (khaba`its).“ (QS Al A’raaf [7] : 157). )Imam Nawawi, Al Majmuu’ Syarah Al Muhadzdzab, 9/19; Syihabuddin Al Aqfasi Syafi’i, At Tibyan Lima Yuhallal wa Yuharram min Al Hayawan, hlm. 63; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 17/278; Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, 13/316).

 

Pendapat tersebut tak dapat diterima, karena sesuatu yang buruk/menjijikkan (khaba`its) wajib ditunjukkan oleh dalil syara’ yang mengharamkan, baik nash Al Qur`an maupun Al Hadits, bukan sekedar dianggap buruk/menjijikkan (mustakhbats) oleh orang Arab. (Imam Qurthubi, Al Jami’ li Ahkam Al Qur`an, 7/300; Abdullah bin Husain Al Maujan, Ahkamul Hayawan fi Al Fiqh Al Islami, hlm. 89).

 

Adapun larangan mematikan semut Jepang dengan cara memasukkan ke dalam air panas, dalilnya hadits-hadits yang melarang membunuh binatang secara umum dengan api. Dalam Sunan Abu Dawud pada hadits no 2677 disebutkan bahwa :

 

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى سَفَرٍ فَانْطَلَقَ لِحَاجَتِهِ فَرَأَيْنَا حُمَّرَةً مَعَهَا فَرْخَانِ فَأَخَذْنَا فَرْخَيْهَا فَجَاءَتِ الْحُمَّرَةُ فَجَعَلَتْ تَفْرُشُ فَجَاءَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ مَنْ فَجَعَ هَذِهِ بِوَلَدِهَا رُدُّوا وَلَدَهَا إِلَيْهَا. وَرَأَى قَرْيَةَ نَمْلٍ قَدْ حَرَّقْنَاهَا فَقَالَ مَنْ حَرَّقَ هَذِهِ. قُلْنَا نَحْنُ. قَالَ إِنَّهُ لاَ يَنْبَغِى أَنْ يُعَذِّبَ بِالنَّارِ إِلاَّ رَبُّ النَّارِ

Dari Abdurrahman bin Abdillah dari ayahnya, dia berkata”Dahulu kami (para shahabat) pernah bersama Rasulullah SAW dalam satu perjalanan. Maka Rasulullah SAW [suatu ketika] pergi hendak menunaikan hajat beliau. Lalu kami melihat burung (hummarah) dengan dua anaknya lalu kami ambil dua anaknya. Datanglah burung itu, dan dia lalu mengepak-ngepakkan sayapnya. Datanglah Nabi SAW lalu bertanya,’Siapa yang membuat takut burung ini dengan dua anaknya, kembalikan anaknya kepadanya.’ Lalu Nabi SAW melihat sarang semut yang telah kami bakar, lalu beliau bertanya,’Siapa membakar ini?’ Kami menjawab,’Kami.’ Nabi SAW bersabda,’Sesungguhnya tidak layak membakar dengan api kecuali tuhannya api (Allah).” (innahu laa yanbaghi an yu’adzdziba bin naar illaa rabbun naar). (HR Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, no 2677, hadits shahih; Imam Al Khathabi, Ma’alimus Sunan, 2/283). Wallahu a’lam.


Artikel Lainnya





Bagi para pembaca yang ingin menanyakan masalah Agama kepada KH. M. Shiddiq Al Jawi, silakan isi form pertanyaan di bawah ini. KH. M. Shiddiq Al Jawi insya Allah akan berusaha menjawab pertanyaan dari para pembaca melalui email.