HUKUM MEMANFAATKAN TES DNA UNTUK MENETAPKAN ATAU MENAFIKAN NASAB


 

Diasuh Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi

 

Tanya :

Ustadz, sejauh mana kita boleh memanfaatkan tes DNA untuk menetapkan atau menafikan nasab dalam Syariah Islam?

 

Jawab :

            Tes DNA (deoxyribunocleic acid atau asam deoksiribunokleat) adalah prosedur yang digunakan untuk mengetahui informasi genetika seseorang. Dengan tes DNA, dapat diperoleh berbagai manfaat, antara lain seseorang bisa mengetahui garis keturunan (nasab) dan risiko penyakit tertentu. Pengetahuan mengenai nasab tersebut misalnya apakah seorang pria adalah ayah biologis dari seorang anak (disebut tes paternitas). Atau apakah seorang wanita adalah ibu biologis dari seorang anak (disebut tes maternitas). Pengetahuan nasab ini selanjutnya digunakan untuk berbagai keperluan hukum, seperti persoalan warisan, perwalian anak, tunjangan anak, adopsi, imigrasi, dan forensik.

 

Tes DNA dilakukan dengan metode mengambil sampel biologis seperti buccal swab (usapan mulut pada pipi sebelah dalam), darah, rambut (beserta akarnya), atau darah dalam tabung (sebanyak 2 ml) sebagai sumber DNA. Sampel biologis ini selanjutnya diuji di laboratorium untuk menganalisis pola DNA dari seseorang yang sudah diambil sampel DNA-nya.

 

Bagaimanakah hukum syariah Islam mengenai pemanfaatan tes DNA tersebut? Secara garis besar, pemanfaatan tes DNA dalam syariah ada dua tujuan, yaitu untuk menafikan nasab (nafyu an nasab) atau untuk menetapkan nasab (itsbaat an nasab). Untuk menafikan nasab, contohnya suami istri punya seorang anak tapi suami tidak mau mengakui anaknya dan menuduh istrinya berzina. Maka dilakukan tes DNA untuk membuktikan bahwa anak itu bukan anaknya. Untuk menetapkan nasab, contohnya kasus bayi tertukar di rumah sakit karena bayi yang mirip, lalu dilakukan tes DNA untuk menentukan seorang bayi itu ibunya siapa, apakah ibu A atau ibu B. (Umar bin Muhammad As Sabil, Al Bashmah Al Waratsiyyah wa Mada Masyru’iyyat Istikhdamiha fi An Nasab wa Al Jinayah, hlm. 41 & 46).

 

Pemanfaatan tes DNA untuk menafikan nasab, hukumnya haram dan tidak boleh menurut syariah. Alasannya karena pemanfaatan tes DNA tersebut akan menghapuskan prosedur li’an yang merupakan satu-satunya metode syariah untuk menafikan nasab, sebagaimana ditegaskan oleh ayat li’an dalam Al Qur`an, yaitu QS An Nuur [24] : 7-9. Kalaupun tes DNA dilakukan dan hasilnya membuktikan seorang anak bukan anak biologis seorang pria, maka tes DNA itu hanya dianggap sebagai qarinah (indikasi) yang memperkuat li’an, bukan sebagai bukti legal untuk menafikan nasab. Hal itu karena penafian nasab secara hukum syariah hanya terjadi dengan prosedur li’an, bukan semata-mata dengan tes DNA. (Umar bin Muhammad As Sabil, Al Bashmah Al Waratsiyyah, ibid., hlm. 43-45).

 

Menurut fatwa Lembaga Fiqih Al Majma’ Al Fiqhi Rabithah Alama Islami dalam sidangnya yang kelima,”Tidak boleh menggunakan tes DNA untuk menafikan nasab sebagai bukti yang berdiri sendiri yang menggantikan prosedur li’an, dan tidak boleh pula menggunakan tes DNA untuk menafikan nasab siapa pun yang telah terbukti nasabnya menurut dalil syariah.” (Umar bin Muhammad As Sabil, Al Bashmah Al Waratsiyyah, ibid., hlm. 43).

 

Adapun pemanfaatan tes DNA untuk menetapkan nasab, hukumnya boleh (jawaz) dalam kondisi-kondisi tertentu, berdasarkan bolehnya al qiyaafah, yaitu salah satu cara penetapan nasab yang disahkan oleh jumhur ulama (kecuali mazhab Hanafi) sebagai penghubungan nasab seorang anak dengan ayahnya atau kerabatnya berdasarkan ciri-ciri atau kemiripan fisik yang ada di antara mereka. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 40/239).

 

Pemanfaatan tes DNA untuk menetapkan nasab ini terbatas pada tiga kondisi saja; pertama, terjadinya sengketa mengenai nasab yang majhul¸ yaitu nasab yang tidak diketahui dengan jelas, karena karena berbagai sebab, misalnya dua pria menggauli wanita yang sama lalu menghasilkan anak. Kedua, terjadinya kemiripan bayi-bayi di rumah sakit, atau di tempat penitipan bayi, termasuk juga kemiripan bayi-bayi hasil teknologi bayi tabung, dan sebagainya. Ketiga, hilangnya anak atau bayi disebabkan oleh perang atau konflik sehingga sulit diketahui siapa ayah ibu mereka, juga kasus ditemukannya mayat yang rusak karena perang atau kecelakaan, dan sebagainya. (Umar bin Muhammad As Sabil, Al Bashmah Al Waratsiyyah, ibid., hlm. 50). Wallahu a’lam.


Artikel Lainnya





Bagi para pembaca yang ingin menanyakan masalah Agama kepada KH. M. Shiddiq Al Jawi, silakan isi form pertanyaan di bawah ini. KH. M. Shiddiq Al Jawi insya Allah akan berusaha menjawab pertanyaan dari para pembaca melalui email.