Diasuh Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi Tanya : Ustadz, kalau saya bernadzar begini boleh tidak,”Jika Jokowi kalah saya akan menyembelih seekor kambing” ? (Aruman, Bantul) Jawab : Sebelum dijawab, perlu dipahami bahwa boleh hukumnya seorang muslim bernadzar baik nadzar yang munjiz (mutlak) maupun nadzar yang mu’allaq (bersyarat). Nadzar munjiz adalah nadzar yang tidak digantungkan pada terjadinya syarat/peristiwa tertentu. Misal, “Saya bernadzar akan berpuasa tiga hari pada bulan Sya’ban ini.” Nadzar mu’allaq adalah nadzar yang digantungkan pada terjadinya suatu syarat/peristiwa tertentu. Misal,”Jika saya sembuh dari sakit, saya akan berpuasa tiga hari pada bulan Sya’ban ini.” (Al Mausuu’ah Al Fiqhiyyah, Juz 40, hlm. 141-143). Para ulama sepakat wajib hukumnya seorang muslim yang bernadzar dengan nadzar mu’allaq tersebut untuk memenuhi nadzarnya, jika telah terwujud syaratnya, sesuai sabda Nabi SAW,”Barangsiapa yang bernadzar untuk mentaati Allah, maka hendaklah dia mentaati-Nya. Dan barangsiapa yang bernadzar untuk bermaksiat kepada Allah, maka hendaklah dia tidak bermaksiat kepada-Nya.” (HR Bukhari, no 6318). Imam Ibnu Qudamah menjelaskan kesepakatan ulama tersebut dengan berkata,”Nadzar itu ada tiga macam. Yang pertama, komitmen seseorang untuk melaksanakan ketaatan (iltizaamu thaa’ah) sebagai kompensasi dari suatu kenikmatan (Arab : ni’mah) yang dia peroleh, atau sebagai kompensasi dari suatu kemudharatan (Arab : niqmah) yang dapat dia tolak. Misalnya seperti ucapan seseorang,”Jika Allah menyembuhkan saya, maka wajib atas saya karena Allah untuk berpuasa selama satu bulan.”… Maka nadzar ini wajib untuk dipenuhi berdasarkan ijma’ ulama.” (Ibnu Qudamah, Al Mughni, Juz 13, hlm. 622). Kutipan di atas juga menunjukkan bahwa nadzar itu dilaksanakan sebagai kompensasi dari suatu kenikmatan yang diperoleh atau suatu kemudharatan yang ditolak oleh seseorang (Arab : ni’matin istajlabahaa aw niqmatin istadfa’aha), seperti kata Imam Ibnu Qudamah. Imam Syaukani juga mengatakan bahwa nadzar itu adakalanya untuk mendapatkan suatu kemanfaatan atau untuk menolak suatu kemudharatan atau bahaya (Arab : istijlaaban li naf’in aw istidfaa`an li dhararin). Jelaslah bahwa dalam nadzar mu’allaq, syarat/peristiwa yang dapat menjadi gantungan nadzar ada 2 (dua), yaitu pertama, ketika seseorang mendapatkan suatu kenikmatan atau kemanfaatan (Arab : ni’mah/naf’un), misalnya mendapat harta, mendapat anak, dsb. Kedua, ketika seseorang terhindar dari suatu kemudharatan atau bahaya (Arab : niqmah/dharar), seperti sembuh dari sakit, selamat dari kecelakaan, kebakaran, dsb. (Ibnu Qudamah, Al Mughni, Juz 13, hlm. 622; Imam Syaukani, Nailul Authar, Juz 10, hlm. 471). Berdasarkan penjelasan ini, boleh hukumnya seorang muslim bernadzar jika Jokowi kalah dalam Pilpres 2019 ini, maka dia akan menyembelih seekor kambing. Hal ini karena Jokowi dapat dianggap sebagai suatu niqmah atau dharar, yaitu suatu kemudharatan atau bahaya bagi umat Islam, mengingat sikapnya yang anti Islam, represif dan otoriter. Maka ketika Jokowi kalah, ini seperti halnya suatu penyakit yang hilang dari tubuh seseorang. Wallahu a’lam.
Bagi para pembaca yang ingin menanyakan masalah Agama kepada KH. M. Shiddiq Al Jawi, silakan isi form pertanyaan di bawah ini. KH. M. Shiddiq Al Jawi insya Allah akan berusaha menjawab pertanyaan dari para pembaca melalui email.