Diasuh Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi Tanya : Ustadz, bolehkah seseorang yang masih punya utang puasa Ramadhan misal perempuan yang haid, berpuasa sunnah 6 hari di bulan Syawal lebih dulu baru mengqadha` puasa Ramadhannya? (Fauzi Saifurrahman, Yogyakarta). Jawab : Para ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya seseorang berpuasa sunnah 6 hari di bulan Syawal sebelum mengqadha` puasa Ramadhannya dalam dua pendapat. Pertama, jumhur ulama, yaitu ulama mazhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i secara global membolehkannya. Ulama mazhab Hanafi membolehkan secara mutlak tanpa disertai kemakruhan, sedang ulama mazhab Maliki dan Syafi’i membolehkan disertai kemakruhan (jaa`iz ma’a al karaahah). Kedua, ulama mazhab Hanbali mengharamkan puasa sunnah 6 hari bulan Syawal sebelum mengqadha` puasa Ramadhan. (Ibnu Qudamah, Al Mughni, Juz III, hlm. 145; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, Juz XXVIII, hlm. 92-93). Pendapat yang lebih kuat (rajih) adalah pendapat jumhur ulama yang membolehkan seseorang berpuasa sunnah 6 hari di bulan Syawal sebelum mengqadha` puasa Ramadhannya. Hal itu dikarenakan mengqadha` puasa Ramadhan adalah kewajiban yang longgar waktunya (wajib muwassa’), yaitu dapat dikerjakan mulai bulan Syawal hingga bulan Sya’ban. Dalil bahwa mengqadha` puasa Ramadhan adalah kewajiban yang longgar waktunya (wajib muwassa’) adalah hadits dari ‘A`isyah RA yang berkata,”Saya pernah mempunyai kewajiban [qadha`] puasa Ramadhan, maka saya tidak mampu mengqadha`-nya kecuali di bulan Sya’ban.” (kaana yakuunu ‘alaiyya shaum min ramadhan, fa-maa astathii’u an aqdhiyahu illaa fii sya’baan) (HR Bukhari dan Muslim). Hadits ini menunjukkan bahwa mengqadha’ puasa Ramadhan itu waktunya longgar dari bulan Syawal hingga bulan Sya’ban, yakni hanya satu bulan sebelum Ramadhan tahun berikutnya. Padahal sudah diketahui bahwa ‘A`isyah RA adalah orang yang sangat gemar melaksanakan ibadah-ibadah yang sunnah termasuk puasa sunnah 6 hari di bulan Syawal. Imam Ibnu Baththal berkata mengenai kelonggaran waktu mengqadha` puasa Ramadhan,”Para ulama telah sepakat bahwa barangsiapa yang mengqadha’ puasa Ramadhan yang ditinggalkannya di bulan Sya’ban sesudahnya, maka dia dapat disebut orang yang telah menunaikan kewajibannya berpuasa Ramadhan tanpa melalaikan kewajiban itu.” (Ibnu Baththal, Syarah Al Bukhari, Juz IV, hlm. 95). Imam Ibnu Rajab Al Hanbali berkata mengenai bolehnya mendahulukan kesunnahan (an nafl) dari kewajiban yang longgar waktunya (wajib muwassa’),”Qaidah nomor 11;’Barangsiapa yang mempunyai kewajiban, apakah dia boleh melakukan kesunnahan (an nafl) sebelum menunaikan kewajiban itu dalam jenisnya [yang sama] ataukah tidak? Ini ada dua macam, yang pertama, dalam ibadah mahdhah. Jika ibadah mahdhah ini waktunya longgar (muwassa’), maka boleh melakukan kesunnahan sebelum menunaikan kewajiban seperti halnya sholat menurut kesepakatan ulama, dan boleh pula melakukan kesunnahan itu sebelum mengqadha` suatu kewajiban seperti halnya puasa Ramadhan menurut pendapat yang lebih shahih.” (Ibnu Rajab Al Hanbali, Al Qawa’id, hlm. 13). Berdasarkan penjelasan ini, maka boleh hukumnya seseorang yang masih mempunyai utang puasa Ramadhan karena udzur syar’i, misalnya karena haid, sakit atau perjalanan (safar), untuk melakukan puasa sunnah 6 hari pada bulan Syawal meskipun dia belum mengqadha` puasa Ramadhannya. Namun yang lebih afdhol (meski tidak wajib) adalah dia mengqadha` puasa Ramadhan lebih dulu, baru kemudian berpuasa sunnah 6 hari pada bulan Syawal. Wallahu a’lam.
Bagi para pembaca yang ingin menanyakan masalah Agama kepada KH. M. Shiddiq Al Jawi, silakan isi form pertanyaan di bawah ini. KH. M. Shiddiq Al Jawi insya Allah akan berusaha menjawab pertanyaan dari para pembaca melalui email.