Diasuh Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi Tanya : Ustadz, bolehkah pada saat akad nikah seorang perempuan mensyaratkan bahwa suaminya tidak akan berpoligami? (Syam, Semarang). Jawab : Terdapat khilafiyah di antara ulama mengenai boleh tidaknya seorang perempuan (atau walinya) menetapkan syarat bahwa suaminya tidak akan berpoligami, yakni menikah lagi dengan perempuan lain. Dalam masalah ini terdapat 2 (dua) pendapat; Pertama, tidak membolehkan syarat tersebut. Ini pendapat ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyyah, dan Zhahiriyah. Ini juga pendapat sebagian shahabat yaitu Ali bin Abi Thalib dan Ibnu ‘Abbas, juga sebagian tabi’in seperti Sa’id bin Al Musayyab, Ibrahim An Nakha’i, dan Hasan Bashri. Kedua, membolehkan syarat tersebut. Ini pendapat ulama Hanabilah, juga pendapat sebagian shahabat seperti ‘Umar bin Khathhab, Ibnu Mas’ud, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan pendapat sebagian tabi’in seperti Syuraih, ‘Umar bin Abdul Aziz, Laits bin Sa’ad, Thawus, Az Zuhri, Al Auza’i, dan Sa’id bin Jubair. (Ibnu Qudamah, Al Mughni, VII/71; Ibnu Hazm, Al Muhalla, IX/491; Ibnul Qayyim, I’lamul Muwaqqi’in, I/316). Setelah mengkaji dalil-dalilnya, pendapat yang rajih (lebih kuat) menurut kami adalah pendapat yang membolehkan syarat tersebut. Dalilnya antara lain sbb; Pertama, hadits riwayat ‘Uqbah bin ‘Amir Al Juhni RA bahwa Nabi SAW telah bersabda,”Sesungguhnya syarat yang paling berhak untuk kamu tunaikan, adalah syarat yang dengannya dapat menghalalkan farji-farji [syarat dalam akad nikah].” (HR Bukhari no 4856 dan Muslim no 1418). Hadits ini secara umum menunjukkan bahwa syarat apapun yang disepakati dalam akad nikah, wajib hukumnya untuk dipenuhi. Termasuk di dalamnya adalah syarat yang ditetapkan perempuan bahwa suaminya tidak akan berpoligami. Kedua, hadits riwayat Al Miswar bin Makhramah RA bahwa ‘Ali bin Abi Thalib RA pernah akan mengkhitbah anak perempuan Abu Jahal (sebagai istri kedua setelah Fathimah RA). Hal ini kemudian dilaporkan oleh Fathimah RA kepada ayahnya, yakni Nabi SAW. Maka bersabdalah Nabi SAW,”Sesungguhnya Fathimah adalah bagian dariku, maka akan menyakitiku apa saja yang menyakiti dia, dan aku tidak senang keburukan menimpanya. Sesungguhnya Bani Hasyim bin Al Mughirah telah meminta izin untuk menikahkan anak perempuan mereka dengan Ali bin Abi Thalib, maka aku tidak mengizinkan…Sesungguhnya aku tidak mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, tetapi tidak boleh berkumpul putri Rasulullah SAW dan putri musuh Allah selama-lamanya, kecuali jika Ali bin Abi Thalib menceraikan lebih dulu putriku.” (HR Bukhari no 3523 & 3556; Muslim no 2449). Hadits di atas menunjukkan bahwa nampaknya Rasulullah SAW sebelumnya telah mensyaratkan kepada Ali bin Abi Thalib saat akad nikah dengan Fathimah untuk tidak berpoligami, sebagaimana penjelasan para ulama seperti Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, Imam Badruddin Al ‘Aini, Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah, dan lain-lain. Dengan kata lain, hadits ini menunjukkan bolehnya seorang perempuan mensyaratkan dalam akad nikah bahwa suaminya tidak akan berpoligami. Berdasarkan dalil-dalil seperti itulah, Imam Ibnu Qudamah menyatakan,”Jika disyaratkan bahwa suami tidak akan mengeluarkan istrinya dari rumahnya atau dari negerinya, atau tidak akan melakukan perjalanan dengan istrinya, atau tidak akan menikah lagi dengan perempuan lain di samping istrinya, maka suami wajib memenuhi syarat tersebut. Jika suami melanggar syarat itu, istri berhak mem-fasakh (membatalkan) akad nikahnya.” (Ibnu Qudamah, Al Mughni, IX/483). Wallahu a’lam.
Bagi para pembaca yang ingin menanyakan masalah Agama kepada KH. M. Shiddiq Al Jawi, silakan isi form pertanyaan di bawah ini. KH. M. Shiddiq Al Jawi insya Allah akan berusaha menjawab pertanyaan dari para pembaca melalui email.