Diasuh Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi Tanya : Ustadz, ada kasus janin berusia lima bulan ternyata diketahui cacat (tak mempunyai tempurung otak) lewat foto empat dimensi. Diperkirakan akan ada kesulitan dalam proses kelahiran karena tak ada dorongan dari kepala, dan umurnya pun diperkirakan hanya 24 jam. Bolehkah janin cacat itu digugurkan? Jawab : Menggugurkan janin cacat sebagaimana yang ditanyakan di atas hukumnya haram. Sebab syara’ telah mengharamkan pengguguran janin yang telah mencapai usia 120 hari (empat bulan), yaitu setelah ditiupkannya ruh (nyawa) pada janin. Hukum ini telah disepakati oleh para fuqoha tanpa ada perbedaan pendapat. (Abdul Qadim Zallum, Hukmu As Syar’i fi Al Istinsakh, hlm. 14; Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 162; Ali Ahmad As Salus, Mausu’ah Al Qadhaya Al Fiqhiyah Al Mu’ashirah, hlm. 701; Ahmad bin Abdullah Adh Dhuwaihi, Al Qawa’id Al Fiqhiyah Al Hakimah Li Ijhadh Al Ajinnah Al Musyawwahah, hlm. 20). Dalil keharamannya firman Allah SWT : وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan suatu (sebab) yang benar.” (QS Al An’am [6] : 151). Ayat ini merupakan dalil umum yang mengharamkan setiap pembunuhan terhadap jiwa (an nafs). Maka dari itu, pengguguran janin cacat yang telah mencapai usia 120 hari (empat bulan) hukumnya haram, karena termasuk dalam pembunuhan yang dilarang dalam ayat ini. Adapun kecacatan pada janin, menurut kami tak dapat dijadikan alasan untuk keluar dari hukum haram ini, baik cacat ringan seperti bibir sumbing, jumlah jari kaki atau tangan yang tak normal (kurang/berlebih), maupun cacat berat seperti janin yang dipastikan akan segera mati setelah dilahirkan akibat cacat jantung, paru-paru, atau ginjal. Kecacatan ini menurut kami tak dapat dijadikan alasan yang membolehkan pengguguran janin cacat, sebab tak terdapat dalil syar’i yang mendasarinya kebolehannya, baik dalil Al Qur`an ataupun Al Hadis. Memang sebagian ulama membolehkan menggugurkan janin yang cacat berat jika belum berusia 120 hari, dengan alasan kaidah fiqih : yukhtaru ahwanu as syarrain (dipilih bahaya lebih ringan di antara dua bahaya yang ada). Menurut mereka, kematian janin cacat segera setelah lahir adalah suatu bahaya, sebagaimana menggugurkannya juga suatu bahaya. Maka dipilih menggugurkan sebelum 120 hari karena dianggap lebih ringan bahayanya. (Ali Ahmad As Salus, ibid., hlm. 701; Ahmad bin Abdullah Adh Dhuwaihi, ibid., hlm. 20). Pendapat ini tak dapat diterima, sebab bertentangan dengan dalil syar’i yang mengharamkan pengguguran janin yang telah berusia 42 (empat puluh dua) hari atau 40 (empat puluh) hari. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud RA, Rasulullah SAW bersabda : إذا مر بالنطفة ثنتان وأربعون ليلة، بعث الله إليها ملكا. فصورها وخلق سمعها وبصرها وجلدها ولحمها وعظامها...وفي رواية أربعين ليلة ”Jika nutfah telah melalui empat puluh dua malam, Allah mengutus satu malaikat kepadanya, lalu dia membentuk nutfah tersebut, dia membuat pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dan tulang belulangnya…” (HR Muslim, no 2645, dari Ibnu Mas’ud RA). Dalam riwayat lain,”Jika nutfah telah melalui empat puluh malam…” (HR Muslim, no 2645 dari Hudzaifah bin Usaid Al Ghiffari RA). Hadis ini menunjukkan bahwa permulaan penciptaan janin dan penampakan anggota-anggota tubuhnya seperti mata, telinga, kaki, kuku, tangan, dan sebagainya terjadi setelah nutfah melewati 40 atau 42 malam. Maka menggugurkan janin yang telah mencapai usia ini (40 hari) hukumnya haram, sama haramnya dengan menggugurkan janin yang telah berusia 120 hari. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 162). Namun demikian, jika keberadaan janin dalam kandungan ibu dapat mengakibatkan kematian ibu dan sekaligus kematian janin itu, maka penguguran janin yang mencapai usia 120 hari dibolehkan, baik janin itu cacat maupun tidak cacat, sebab terdapat dalil syar’i yang membolehkannya. Antara lain kaidah fiqih : إذا تعارض مفسدتان روعي أعظمها ضررا بإرتكاب أخفهما idzaa ta’aradha mafsadatani ru’iya a’zhamuhuma dhararan birtikabi akhaffihima. (Jika terdapat dua bahaya yang bertentangan, maka dicari yang lebih besar bahayanya dengan mengambil bahaya yang lebih ringan di antara keduanya). (Imam Suyuthi, Al Asybah wa An Nazha`ir fi Al Furu’, hlm. 87). Wallahu a’lam.
Bagi para pembaca yang ingin menanyakan masalah Agama kepada KH. M. Shiddiq Al Jawi, silakan isi form pertanyaan di bawah ini. KH. M. Shiddiq Al Jawi insya Allah akan berusaha menjawab pertanyaan dari para pembaca melalui email.