Diasuh Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi SOAL : Nah pertanyaannya : Bagaimana si A melakukan sholat Jumat? Bukankah tidak mungkin, karena hanya ada 10 orang termasuk si A yang ada di lokasi (quota shalat Jumat =50), dan hanya si A yang muslim. Adakah cara berwudhu yang singkat (yang penting-penting saja) bagian tubuh yang mana saja yang penting untuk dicuci/dibasuh, jika keadaan dan waktu JAWAB : Sebelum kami menjawab pertanyaan, pertama-pertama kami turut merasa prihatin dengan keadaan si A tersebut. Kami berdoa kepada Allah SWT agar Allah SWT mengaruniakannya kesabaran menghadapi kondisi tersebut. Semoga si A termasuk ke dalam orang-orang yang tetap mengingat Allah di tengah pekerjaannya, sebagaimana disebut oleh firman Allah SWT: “...laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) jual beli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan sholat, dan (dari) membayar zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS An-Nuur : 37) Adapun jawaban dari pertanyaan-pertanyaan Anda adalah sebagai berikut : Pertama, hendaknya A meniatkan menjadi musafir, yaitu menjadi orang dalam perjalanan, dalam suatu perjalanan (safar) yang melampaui batas jarak minimal, yaitu 16 farsakh (=88,704 km) sesuai perhitungan Abdul Qadim Zallum dalam Al Amwal fi Daulah Al Khilafah, hal. 60. Mengapa perlu niat menjadi musafir? Sebab musafir akan mendapat rukhsah (keringanan) untuk boleh menjama’ dan mengqashar sholat. Jadi, si A di sana hendaknya tidak meniatkan tempat kerjanya itu sebagai tempat tinggalnya secara tetap (sebagai mukim/musthautin). Dengan niat menjadi musafir, maka selama A berstatus sebagai musafir, dia boleh menjama’ dan mengqashar sholatnya, walaupun dia berada di satu tempat untuk jangka waktu yang lama (Inilah pendapat Abu Hanifah. Lihat Muhammad bin Abdurrahman, Rohmatul Ummah, hal. 39). Dalilnya antara lain hadits riwayat Imam Al Baihaqi dari Ibnu Abbas bahwa Nabi SAW pernah tinggal di Hunain selama 40 hari dan beliau mengqashar shalatnya. (Lihat Ali Raghib, Ahkamush Sholat, hal. 85-87). Dinukilkan oleh Ibnul Mundzir dalam kitabnya Al-Isyraf, ”Telah sepakat ahli ilmu menetapkan bahwa para musafir boleh terus mengqasharkan shalatnya, selama ia belum berniat iqamah (tinggal secara tetap), walaupun berlalu bertahun-tahun.” (Lihat Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Shalat, hal. 447). Kedua, lakukan sholat jama’ dan qashar (untuk sholat Zhuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya`) dengan satu kali thaharah saja. Caranya : Berwudhulah sekitar pukul 17.00 sore (masih dalam waktu ashar, tapi menjelang maghrib). Lalu lakukan sholat jama’ ta`khir (mengerjakan sholat Zhuhur dan Ashar pada waktu ashar). Masing-masing diqashar (diringkas jumlah rakaatnya yang empat menjadi dua rakaat). Kerjakan zhuhur dua rakaat dan ashar dua rakaat. Tapi niat jama’ ta`khir ini wajib dilakukan ketika waktu zhuhur. Setelah itu, tunggulah masuknya waktu maghrib dan usahakan wudhunya sampai batal. Ketika waktu maghrib tiba, segera kerjakan sholat jama` taqdim (mengerjakan sholat Maghrib dan Isya` pada waktu maghrib). Kerjakan Maghrib tiga rakaat (tidak boleh diqashar) disertai niat jama’ taqdim lalu kerjakan Isya` dua rakaat. Dengan demikian, Anda telah mengerjakan empat waktu shalat (sholat Zhuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya`) dengan satu kali wudhu saja, dan dalam jangka waktu hanya sekitar satu jam ! (Lihat Prof. Mahmud Yunus, Al-Fiqh al-Wadhih, Juz II, hal. 18). Maka jika memungkinkan, mintalah waktu istirahat antara pukul 17.00 –18.30 (misalnya) agar si A dapat mengerjakan cara sholat seperti ini. Jika tidak memungkinkan, kerjakan sholat secara jama’ (baik jama’ taqdim maupun ta`khir) dan diqashar. Adapun sholat Subuh, maka mau tidak mau dia harus dikerjakan pada waktunya dan tidak boleh diqashar, juga tidak boleh dijama` untuk digabung dengan sholat lainnya. Ketiga, untuk mempercepat shalat, lakukan gerakan atau bacaan yang rukun-rukun (wajib) saja, dan tidak mengapa meninggalkan yang sunnah-sunnah (yang tidak wajib). Misalnya, setelah takbiratul ihram yang berbarengan dengan niat, bacalah langsung basmalah dan surat Al-Fatihah, tidak wajib membaca doa iftitah. Juga cukup membaca Al-Fatihah saja, dan tidak wajib membaca surat setelah membaca Al-Fatihah. Tidak wajib mengangkat tangan ketika akan ruku’, dan ketika bangkit dari ruku`. Juga tidak wajib membaca doa pada saat ruku` dan sujud. Asalkan tetap thuma`ninah (diam sebentar). Atau bacalah walau cuma sekali, misalnya saat ruku` cukup membaca sekali “Subhaana rabbiyal azhiim.” Atau saat sujud bacalah walau sekali ““Subhaana rabbiyal a’laa”. Waktu duduk di antara dua sujud boleh tidak membaca apa-apa, asalkan thuma`ninah. Atau bacalah doa yang singkat sekali “Rabbighfirli, Rabbighfirli” (HR. An-Nasa`i). Ketika akan bangkit untuk rakaat kedua, langsung saja berdiri, tidak wajib duduk istirahat. Salam yang wajib cukup sekali (menoleh ke kanan). Salam yang kedua (menoleh ke kiri) adalah sunnah. Dan cukuplah pada salam pertama hanya membaca “Assaalamu ‘alaikum” (Lihat Prof. Mahmud Yunus, Al-Fiqh al-Wadhih, Juz I, hal. 27). Keempat, perhatikan, pakaian yang kotor boleh digunakan untuk sholat, selama kotoran itu bukan najis. Bedakan antara “kotor” dan “najis”. Pakaian yang terkena lumpur, adalah suci (bukan najis), sebab lumpur sendiri bukan najis. Begitu pula, pakaian yang terkena minyak bumi adalah suci, sebab minyak bumi bukan najis. Maka tidak mengapa sholat dengan pakaian berlumpur dan pakaian berminyak. Hanya saja ini kurang afdhol (khilaf al-aula). Yang lebih baik lagi (walaupun tidak wajib) adalah mengenakan pakaian yang suci lagi bersih/indah. Firman Allah SWT : “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid...” (QS Al-A’raaf : 31). Yang dimaksud “di setiap (memasuki) mesjid” adalah : tiap-tiap akan sholat, atau thawaf keliling Ka’bah, atau ibadah-ibadah lainnya (lihat Imam As-Suyuthi, Al-Iklil fi Istinbath At-Tanzil, hal. 106). Sholat Jumat tidak wajib hukumnya atas si A tersebut. Sebab, sholat Jumat tidaklah wajib bagi seorang musafir. Tidak wajibnya musafir untuk sholat Jumat karena tidak pernah diriwayatkan bahwa Nabi SAW mendirikan sholat Jumat pada saat beliau dalam perjalanan. Demikianlah pendapat jumhur ulama (Muhammad bin Abdurrahman, Rohmatul Ummah, hal. 41; Taqiyuddin Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, I/147; Ash-Shan’ani, Subulus Salam, II/58). Maka dari itu, jika si A meniatkan menjadi musafir di tempat kerjanya tersebut, tidaklah wajib atasnya sholat Jumat. Namun dia tetap wajib menjalankan sholat Zhuhur dan dia dapat mengerjakannya secara jama’ taqdim, atau secara jama’ ta`khir seperti yang dijelaskan di atas. Sebagai informasi tambahan, mengenai nishob (jumlah minimal) peserta sholat Jumat, menurut pemahaman kami, tidaklah wajib 40 orang. Dalam hal ini, memang yang masyhur di Indonesia adalah madzhab Imam Syafii yang berpendapat minimal harus 40 orang yang musthautin (yakni mukim, bukan musafir). Madzhab Imam Ahmad juga berpendapat demikian. Dalilnya antara hadits Jabir bin Abdillah RA,”Telah berlalu sunnah bahwa pada setiap 40 orang ke atas dilakukan sholat Jumat.” (HR. Ad-Daruquthni). Namun hadits ini lemah (dhaif) dan tidak dapat dijadikan hujjah (dalil). Demikian menurut penilaian Imam Baihaqi, Ibnu Hibban, dan lain-lain (Subulus Salam, II/56, Kifayatul Akhyar, I/148). Maka kami lebih cenderung kepada pendapat bahwa sholat Jumat dapat dilakukan oleh tiga orang (minimal) atau lebih. Inilah pendapat Imam Al-Auza’i dan Abu Yusuf. Dalilnya adalah firman Allah SWT : “Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu diseru untuk menunaikan sholat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu untuk mengingat Allah...” (QS Al-Jumu’ah : 10) Firman Allah “bersegeralah kamu” (Arab : fas`auw) merupakan khithab (seruan) yang tertuju kepada orang dalam jumlah jama’ (plural). Sedangkan jumlah jama’ paling sedikit adalah tiga. Maka, ayat ini adalah dalil bahwa sholat Jumat wajib didirikan oleh sebuah jamaah yang jumlahnya minimal tiga orang (lihat Ash-Shan’ani, Subulus Salam, I/56). Perhatikan bahwa minyak kadang dapat menghalangi kulit dari sampainya air wudhu. Maka, pastikan bahwa kulit wajah, tangan (hingga siku), dan kaki (sampai mata kaki) telah bersih dari minyak dan dapat terkena air wudhu. Pakailah sabun atau yang semacamnya untuk menghilangkan minyak dari kulit. Jika keadaan sempit, lakukan wudhu pada yang anggota tubuh yang wajib-wajib saja, dan tidak mengapa meninggalkan yang sunnah-sunnah. Dan cukup dibasuh atau diusap sekali-sekali saja. Itu sudah mencukupi (sah).Tidak wajib tiga kali. Caranya, kerjakan secara tertib (berurutan) : (1) basuhlah wajah (sekali) dan berniatlah wudhu pada saat membasuh wajah ini, (2) lalu basuhlah kedua tangan sampai siku (masing-masing sekali), (3) lalu usaplah sebagian kepala (sekali), (4) lalu basuhlah kedua kaki sampai mata kaki (masing-masing sekali). Selain itu hukumnya sunnah (tidak wajib), seperti membaca basmalah pada permulaan wudhu, membasuh kedua telapak tangan, berkumur-kumur, membersihkan lubang hidung, dan mengusap telinga (Kifayatul Akhyar, I/22-24). Wudhu boleh juga menggunakan air laut. Jadi, bagi si A yang kebetulan bekerja di samudera, boleh menggunakan air laut untuk berwudhu, sebab air laut adalah suci sebagaimana sabda Nabi SAW : “[Laut] itu adalah suci airnya dan halal bangkainya.” (HR. Ibnu Hibban, At-Tirmidzi, dan Al-Bukhari. Lihat Subulus Salam, I/15; Kifayatul Akhyar, I/6) Demikianlah jawaban kami. Semoga Allah memberi petunjuk bagi hamba-Nya yang bertaqwa dan ikhlas beribadah kepada-Nya. Wallahu a’lam [ ]
Ada hal yang ingin saya tanyakan seputar masalah shalat. Kondisinya sebagai berikut : Asumsikan si A biasa hidup dan tinggal di Indonesia, yang notabene dapat melakukan ibadah shalat 5 waktu dengan baik, karena tersedianya sarana dan prasarana yang menunjang, misalnya : banyak masjid, suara azan terdengar di mana-mana, orang-orang di sekitarnya sebagian beragama Islam sehingga memahami dan mendukung betul akan kewajiban shalat, dan seterusnya. Nah sekarang si A mendapatkan suatu pekerjaan baru yang menyebabkan dia harus berhijrah untuk 2 tahun lamanya ke suatu daerah terpencil di mana di situ dia tidak mendapatkan masjid, tidak mendengar azan, tidak mendapatkan lingkungan orang-orang se-iman (seluruh teman kerjanya adalah non muslim). Pendek kata sarana dan prasarananya tidak sekondusif waktu ia masih di tanah air, dan jenis pekerjaannya adalah jenis pekerjaan yang boleh dikatakan kasar, penuh kotoran, lumpur, dan membutuhkan waktu standby yang lama (kurang lebih 18 jam kerja nonstop, kemudian istirahat 12 jam, dan bekerja lagi, begitu sehari-harinya) sehingga kalau pekerjaan yang 18 jam itu ditinggalkan 5 menit saja akan berakibat hancurnya alat-alat kerja dan mesin-mesin kerja di perusahaan tempat si A bekerja. Pendek kata si A bekerja di penambangan minyak bumi di lokasi tengah samudera dengan total personil yang ada di lokasi hanya 10 orang (hanya A yang muslim di situ).
Bagaimana cara melakukan sholat wajib (fardhu) yang 5 waktu dengan kondisi yang sangat terbatas tersebut, apakah ada keringanan-keringanan caranya (mungkin : apakah bisa dipercepat, atau ada gerakan khusus yang bisa dipercepat, atau bagaimana?), karena si A hanya mempunyai waktu luang 12 jam sehari, sisanya full bekerja. Dan pada saat bekerja pun badan dan pakaiannya selalu kotor oleh lumpur, dan minyak bumi.
sangat mendesak?
Bagi para pembaca yang ingin menanyakan masalah Agama kepada KH. M. Shiddiq Al Jawi, silakan isi form pertanyaan di bawah ini. KH. M. Shiddiq Al Jawi insya Allah akan berusaha menjawab pertanyaan dari para pembaca melalui email.