HUKUM MEMBELI SERTIFIKAT TOEFL DAN SURAT VAKSIN


Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi

 

 

Tanya :
Bismillah, assalamualaykum Ustadz, gimana kabarnya? Ada jamaah yang bertanya ke saya terkait hukum membeli sertifikat TOEFL dan TPA (Tes Potensi Akademis), untuk masuk universitas, dimana dia dapet sertifikat itu secara resmi, hanya dia membeli saja, artinya bukan sertifikat palsu, lalu kedua, faktanya dia gunakan untuk masuk universitas, artinya dia tidak gunakan untuk kepentingan kerja, atau meningkatkan jabatan atau sebagaimananya, hanya untuk belajar, di mana belajar itu hukumnya fardhu, apa pandangan ustadz dan Islam mengenai masalah tersebut, jazakallah khairan. (Akbar, Bandung).

Ustaz Shiddiq yang dirahmati Allah, kan salah satu syarat untuk bisa mudik lebaran tahun ini naik pesawat atau kereta api jarak jauh, adalah penumpang harus sudah vaksin satu, vaksin dua, dan vaksin booster. Jika misalnya saya dan keluarga tidak mau vaksin, tapi kami tetap ingin lolos mudik naik kendaraan umum tersebut, bolehkah saya membeli kartu vaksin? Ini termasuk perbuatan berdusta atau tidak? Karena ada yang berpandangan transaksi/aqadnya ini sama dengan transaksi jual-beli kartu seperti kayak kita mencari SIM di biro jasa. Sehingga menurut mereka, ya sah-sah saja. Mohon pencerahannya. Jazaakallah khairan. (Bu Puspita, Yogyakarta).

 

Jawab :

Wa alaikumus salam wr wb.

Kedua pertanyaan di atas ada kemiripan kasus, maka kami jawab sekaligus dengan satu jawaban.

Membeli sertifikat TOEFL atau TPA tersebut, walaupun asli, hukumnya haram karena termasuk penipuan atau kecurangan (Arab : al-ghisy, Eng : fraudulent). Hal itu karena dengan sertifikat tersebut seolah-olah pemegang sertifikat telah lulus test TOEFL atau TPA, padahal dia tidak pernah mengikuti tesnya itu sendiri.

Demikian juga haram hukumnya membeli surat vaksin, yang menyatakan pemegangnya sudah mendapat vaksin, padahal faktanya belum divaksin. Ini juga termasuk kategori penipuan atau kecurangan (Arab : al-ghisy, Eng : fraudulent) yang telah diharamkan oleh syarak.

Islam telah mengharamkan ghisy (penipuan/kecurangan) berdasarkan hadits shahih dari Abu Hurairah RA sebagai berikut :


 
عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم مر على صبرة طعام، فأدخل يده فيها فنالت أصابعه بللا فقال ما هذا يا صاحب الطعام؟ قال : أصابته السماء يا رسول الله قال أفلا جعلته فوق الطعام كي يراه الناس؟ من غش فليس مني

 

Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW suatu saat melewati seonggok makanan yang dijual di pasar. Lalu Rasulullah SAW memasukkan tangannya ke dalam onggokan makanan itu hingga jari beliau menyentuh makanan yang basah. Rasulullah SAW bertanya,”Apa ini wahai penjual makanan?” Penjual makanan menjawab,”Itu kena hujan wahai Rasulullah SAW.” Rasulullah SAW berkata,”Mengapa tak kamu letakkan yang basah itu di bagian atas supaya dapat dilihat oleh orang-orang? Barangsiapa berbuat curang maka ia bukan golongan kami.” (HR Muslim, no 164).
 
Hadits tersebut dengan jelas menunjukkan keharaman tindakan curang dari penjual makanan, karena terdapat qarinah (indikasi) larangan yang tegas (al-nahy al-jazim), yaitu celaan “bukan golongan kami” (fa-laisa minni) bagi setiap orang yang berbuat curang. (‘Atha` bin Khalil, Taysir Al Wushul Ila Al Ushul, hlm. 24).
 
Namun hadits ini tak hanya berlaku khusus untuk peristiwa tersebut, tapi berlaku umum untuk setiap tindakan penipuan atau kecurangan dalam segala bentuknya. Sebab redaksi hadits menggunakan kata yang berarti umum, yaitu “man” (barangsiapa), sesuai bunyi hadits “Barangsiapa berbuat curang maka ia bukan golongan kami” (Arab : man ghasysya fa-laisa minnii). Kaidah ushul fiqih menyebutkan :


 
العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب

 

Al ‘ibrah bi ‘umum al lafzhi laa bi khushush as sabab (makna diambil berdasarkan keumuman lafazh, bukan berdasarkan kekhususan sebab / latar belakang nash). (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, III/241). 
 
Pengertian tindakan curang (al-ghisy) adalah menampakkan sesuatu yang tak sesuai dengan faktanya  (إظهار غير الحقيقة) (izh-haru ghairi al-haqiqah), atau menampakkan sesuatu secara berbeda dengan apa yang disembunyikan (أظهر له غير ما يضمر) (azh-hara lahu ghaira maa yudhmaru). (Rawwas Qal’ahjie, Mu’jam Lughah Al-Fuqaha`, hlm. 252; Ibrahim Anis dkk, Al-Mu’jam Al-Wasith, hlm. 653).
 
Dengan demikian, keumuman hadits di atas mencakup pula keharaman melakukan berbagai kecurangan atau penipuan, termasuk membeli sertifikat TOEFL atau TPA tanpa ujian (tes). Demikian juga keumuman hadits tersebut mencakup keharaman membeli surat vaksin padahal pemegang surat vaksin itu tidak pernah divaksin sama sekali.

Hal itu dikarenakan seseorang yang memegang sertifikat tersebut akan nampak seolah-olah dia telah lulus tes TOEFL atau TPA, dengan mendapat nilai bagus (berhasil), padahal kenyataannya pemegang sertifikat tersebut tidak pernah mengikuti tes TOEFL atau TPA sama sekali.

Demkian pula seseorang yang membeli surat vaksin, seolah-olah dia sudah mendapat vaksin padahal faktanya belum.

Kedua kasus tersebut hukumnya haram karena termasuk ghisy (penipuan/kecurangan) yang telah diharamkan syarak berdasarkan hadits Nabi SAW.

Wallahu a'lam.

Yogyakarta, 14 Mei 2022 / 14 Syawal 1443

M. Shiddiq Al Jawi


Artikel Lainnya





Bagi para pembaca yang ingin menanyakan masalah Agama kepada KH. M. Shiddiq Al Jawi, silakan isi form pertanyaan di bawah ini. KH. M. Shiddiq Al Jawi insya Allah akan berusaha menjawab pertanyaan dari para pembaca melalui email.