HUKUM MEMBAIAT KHALIFAH TANPA KEKUASAAN UNTUK MENERAPKAN SYARIAH Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi Tanya : Jadi angkat dulu khalifah meskipun belum ideal (bisa dikatakan khalifah darurat). Menurut dia lagi, pemahaman di atas berangkat dari hadits rasul SAW “Barang siapa yang mati dalam kondisi tidak berba’iat kepada khalifah maka matinya mati jahiliyyah”. Pertanyaan saya : 1. Benarkah pemahaman teman dialog saya tadi diatas, yang penting “person khalifah” dulu, bukan “wilayah atau kekuasaan” ? 2. Bagaimana penjelasan soal hadits yang dijadikan dalil oleh teman dialog saya tadi ? Mohon ustad berkenan untuk menjawabnya. (Amin, Purbalingga) Jawab : Definisi khalifah adalah “huwalladzy yanuubu ‘anil ummah fi as-sulthan wa tanfiidzi al-ahkam asy-syar’iyyah” (khalifah adalah orang yang mewakili umat Islam dalam urusan kekuasaan dan penerapan hukum-hukum syara’). Demikian diterangkan oleh Syaikh Abdul Qadim Zallum —rahimahullah— dalam kitabnya Nizhamul Hukmi fi Al-Islam, pada bab Al-Khalifah halaman 49. Jadi, khalifah yang dibaiat haruslah mempunyai kekuasaan (as-sulthan) dan menerapkan hukum-hukum syara’ di berbagai aspek kehidupan, seperti sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem pendidikan, politik luar negeri, dan sebagainya. Khalifah yang dimaksud dalam hadits tersebut, tiada lain adalah khalifah dalam definisi syar’i ini. Maka, kalau seseorang diangkat sebagai khalifah tapi tidak mempunyai kekuasaan dan tidak melaksanakan hukum-hukum syara’, sebenarnya dia bukanlah khalifah dalam pengertian syar’i. Membaiat khalifah tanpa kekuasaan atau tanpa penerapan syariah kepada masyarakat, hukumnya tidak sah menurut syara’ karena telah menyalahi nash-nash syara’ yang menerangkan kewenangan (shalahiyat) khalifah dalam kekuasaan dan penerapan syariah dalam segala bidang kehidupan. Benar, bahwa wajib hukumnya setiap muslim mempunyai baiat di lehernya dan bahwa kalau seorang muslim tidak mempunyai baiat kepada mati khalifah, matinya adalah mati jahiliyah. Tapi ini tidak berarti bahwa orang boleh membaiat khalifah dengan sembarangan tanpa memperhatikan syarat-syarat syar’i atau berbagai wewenang (shalahiyat) yang dimiliki khalifah, yaitu menerapkan syariah Islam dalam segala bidang kehidupan, misalnya di bidang pemerintahan, ekonomi, pendidikan, pidana ('uquubaat), perdata (mu'amalat), sosial, budaya, hubungan internasional, dan sebagainya. Sama halnya pembaiatan tersebut dengan shalat yang hukumnya wajib hukumnya atas setiap muslim, dan kalau seorang muslim tidak mau shalat maka dia diancam oleh Allah SWT akan masuk neraka (Saqar) (QS Al-Muddatstsir : 42). Tapi ini tidak berarti seorang muslim boleh sholat secara sembarangan, misalnya sholat tanpa memenuhi syarat-syarat sahnya sholat, misalnya sholat tanpa menghadap kiblat, tanpa menutup aurat, tanpa wudhu, dan sebagainya. Perlu diperhatikan, bahwa kekeliruan mendasar teman Anda (hadaanallahu wa iyyahu) adalah tidak mampu membedakan antara mengangkat Khalifah (nashbul khalifah) dengan menegakkan Khilafah (iqamatul khilafah). Kedua hal ini berbeda. Mengangkat khalifah tidak otomatis menegakkan sistem Khilafah (ketika Khilafahnya tidak ada, seperti sekarang pasca runtuhnya Khilafah di Turki tahun 1924). Tapi menegakkan Khilafah secara otomatis akan berimplikasi adanya keharusan pengangkatan khalifah. Nah, masalah yang dihadapi umat Islam setelah hancurnya negara Khilafah di Turki tahun 1924, justru adalah menegakkan Khilafah (iqamatul khilafah), bukan sekedar mengangkat Khalifah (nashbul khalifah). Sementara teman Anda mempunyai pemahaman dasar, bahwa masalah yang perlu dipecahkan hanya sekedar mengangkat Khalifah (nashbul khalifah), tanpa memperhatikan apakah negara Khilafah-nya sendiri sudah ada atau tidak ada sama sekali. Di sinilah pangkal kekeliruan teman Anda. (Lengkapnya lihat buku berjudul Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah, karya Wali Al-Fattah). Dalam kitabnya Nizhamul Hukmi fi Al-Islam Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, menerangkan bahwa untuk mengangkat Khalifah (nashbul khalifah), wajib dipenuhi 7 (tujuh) syarat yang melekat pada pribadi (person) khalifah, yaitu seorang khalifah itu wajib : Sedangkan untuk menegakkan Khilafah (iqamatul khilafah), harus dipenuhi 4 (empat) syarat ; Pertama, khalifah yang dibaiat wajib memenuhi ketujuh syarat baiat in’iqad (yaitu ketujuh syarat wajib yang telah disebutkan di atas). Kedua, negeri (al-balad) tempat khalifah itu dibaiat wajib mempunyai kekuasaan yang mandiri (sulthanan dzatiyan), bukan di bawah kendali orang kafir atau negara kafir. Ketiga, keamanan (al-amaan) negeri itu berupa keamanan Islam, yakni keamanan negeri itu baik dalam negeri maupun luar negeri, sepenuhnya berada di tangan kaum muslimin. Keempat, khalifah itu wajib segera menerapkan hukum-hukum syara’ di dalam negeri, dan wajib segera melaksanakan tugas mengemban dakwah Islam ke luar negeri. Demikianlah penjelasan kami secara garis besar saja. Untuk mengetahui lebih detailnya, termasuk segala dalil-dalilnya, silakan merujuk pada kitab yang kami sebut tadi, yakni Nizhamul Hukmi fi Al-Islam karya Syaikh Abdul Qadim Zallum, halaman 59. Semoga Allah senantiasa memberikan petunjuk kepada para hamba-Nya yang bertaqwa kepada-Nya. Amin. Yogyakarta, 29 Juli 2007 Muhammad Shiddiq Al-Jawi https://anaksholeh.net/membaiah-khalifah
Teman dialog saya pernah menyampaikan bahwasannya dia mengaku sudah membai’at atau memiliki khalifah. Meskipun, ketika saya tanya, mana wilayahnya, militer, dsb dia menjawab belum ada dan lagi diusahakan. Ini karena menurut dia, yang penting adalah membai’at atau mengangkat khalifah dulu, adapin soal perangkatnya (wilayah, militer, dll) menyusul. Jika harus nunggu militer dan wilayah dulu ada, maka akan terlalu lama. Keburu nanti jika mati, maka matinya terkategori mati jahiliyyah.
(1) Muslim,
(2) Laki-laki,
(3) Baligh,
(4) Berakal,
(5) Adil (tidak fasik),
(6) Merdeka (bukan budak), dan
(7) Mampu.
Bagi para pembaca yang ingin menanyakan masalah Agama kepada KH. M. Shiddiq Al Jawi, silakan isi form pertanyaan di bawah ini. KH. M. Shiddiq Al Jawi insya Allah akan berusaha menjawab pertanyaan dari para pembaca melalui email.