HUKUM BUKET UANG


 

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

 

 

Tanya :

Ustadz, izin bertanya kaitannya tentang hukum buket uang, yang lagi ramai dan menjadi kebiasaan. Hari ini buket uang dijadikan hadiah baik saat ulang tahun, seminar hasil penelitian, seminar proposal ataupun agenda semisalnya. Padahal uang kan termasuk salah satu di antara barang ribawi hari ini. Bagaimana penjelasan terkait hal ini? Mohon penjelasannya???? Jazakumullahu khoiron. (Hamba Allah).

 

Jawab :

Benar, uang yang berlaku sekarang, yakni uang kertas (fiat money, al-nuqûd al-waraqiyyah), seperti rupiah Indonesia, dolar AS, riyal Saudi, yen Jepang, dsb, disamakan hukumnya dengan barang ribawi berupa emas (dinar) dan perak (dirham). Hal ini dikarenakan uang kertas mempunyai fungsi-fungsi yang sama dengan dinar dan dirham pada masa Nabi SAW, yakni fungsi al-naqdiyyah, yaitu menjadi alat tukar (uang), dan fungsi al-tsamaniyyah, yaitu menjadi harga untuk menilai berbagai barang dan upah untuk menilai berbagai jasa. (Abdul Qadîm Zallûm, Al-Amwâl fî Daulah Al-Khilâfah, hlm. 160-161).

 

Maka dari itu, ketika satu mata uang dipertukarkan dengan mata uang lainnya, wajib mengikuti hukum syariat mengenai hukum pertukaran uang (sharaf), baik pertukaran mata uang yang sejenis (misal rupiah dengan rupiah) maupun pertukaran uang yang beda jenis (misal rupiah dengan dolar AS). Hukum syara’ untuk pertukaran mata uang sejenis adalah wajib memenuhi dua syarat; pertama, harus sama nilainya (at-tamâtsul), atau dengan kata lain tidak boleh ada tambahan (at-tafâdhul). Kedua, harus terjadi secara kontan (tidak boleh terjadi penundaan), yakni terjadi serah terima di majelis akad (al-taqâbudh fî majelis al-‘aqad). Adapun untuk pertukaran mata uang yang beda jenis, wajib memenuhi satu syarat saja, yaitu terjadi secara kontan.  (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhâm Al-Iqtishâdi fî al-Islâm, hlm. 255-256).

 

Adapun hukum buket uang, jika uangnya berasal dari pembuat buket uang, hukumnya jelas haram, karena terjadi riba. Sebab fakta yang terjadi adalah aktivitas pertukaran uang (sharaf) antar uang yang sejenis (rupiah dengan rupiah) namun disertai tambahan (at-tafâdhul). Jadi pertukaran antara uang sejenis yang seharusnya wajib berlangsung dengan uang yang senilai (at-tamâtsul), tetapi faktanya menjadi tidak senilai karena adanya tambahan.

 

Misalnya, buket uang dengan uang asli Rp 100 ribuan sebanyak 10 lembar (senilai Rp 1 juta), dijual dengan harga Rp 1.200.000 oleh penjual buket uang. Ketika terjadi akad jual beli buket uang, maka pembeli yang seharusnya menyerahkan Rp 1 juta, ternyata menyerahkan Rp 1.200.000. Jadi di sini ada kelebihan Rp 200.000, yang boleh jadi diklaim sebagai jasa pembuatan buket ataupun harga dari benda-benda yang menjadi rangkaian bunga. Ini tetap tidak boleh secara syariah Islam.

 

Dalil haramnya tambahan dalam pertukaran mata uang sejenis adalah hadits Nabi SAW, di antaranya hadits dari Abu Sa'id al-Khudri RA bahwa Rasulullah SAW bersabda :

 

لاَ تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ، وَلاَ تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ، وَلاَ تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ، وَلاَ تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ، وَلاَ تَبِيعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ.

 

“Janganlah kalian berjual beli emas dengan emas kecuali sama beratnya, dan janganlah kalian lebihkan yang satu atas yang lainnya. Janganlah kalian berjual beli perak dengan perak kecuali sama beratnya, dan jangan kalian lebihkan yang satu atas yang lainnya, dan janganlah kalian berjual beli sesuatu (emas/perak) yang tidak hadir (tidak ada di majelis akad) dengan yang hadir (ada di majelis akad).” (HR Bukhari, no. 2031).

 

Dari hadits tersebut, jelas bahwa ketika terjadi pertukaran uang yang sejenis, yaitu emas ditukarkan dengan emas, atau perak ditukarkan dengan perak, wajib dilakukan secara semisal (at-tamâtsul), yaitu sama beratnya (untuk emas atau perak), atau sama nilainya (untuk uang kertas), dan tidak boleh ada tambahan (at-tafâdhul). Jika terjadi tambahan (at-tafâdhul), maka jelas tambahan itu adalah riba, yaitu ribâ fadhl. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhâm Al-Iqtishâdi fî al-Islâm, hlm. 258).

 

Solusinya, agar buket uang itu halal secara syariah, ada beberapa alternatif, di antaranya :

Pertama, buket uangnya diisi dengan uang yang berasal dari pembeli, bukan dari penjual. Jadi pembeli hanya membayar jasa penjual yang bekerja merangkai uang dari pembeli ke dalam rangkaian buket uang.

Kedua, buket uang yang dijualbelikan adalah buket uang kosongan (ini tersedia di sebagian online shop). Jadi buket uang yang dibeli tidak ada uangnya, yang ada hanyalah wadah atau tempat untuk uangnya. Jadi uangnya nanti akan ditambahkan sendiri oleh pembeli buket uang itu ketika akan dihadiahkan kepada pihak lain.

Ketiga, buket uang yang dijualbelikan adalah buket uang yang berisi uang mainan (ini tersedia di sebagian online shop).

 

Yogyakarta, 24 Agustus 2022

M. Shiddiq Al Jawi

 

Referensi :

 

Abdul Qadîm Zallûm, Al-Amwâl fî Daulah Al-Khilâfah

Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhâm Al-Iqtishâdi fî al-Islâm

https://islamqa.info/ar/answers/208878/بيع-المال-المعمول-على-اشكال-فنية

 


Artikel Lainnya





Bagi para pembaca yang ingin menanyakan masalah Agama kepada KH. M. Shiddiq Al Jawi, silakan isi form pertanyaan di bawah ini. KH. M. Shiddiq Al Jawi insya Allah akan berusaha menjawab pertanyaan dari para pembaca melalui email.