HUKUM FRANCHISE (WARALABA)


HUKUM FRANCHISE (WARALABA)

 

Tanya :

Ustadz, mohon penjelasan bagaimana hukumnya franchise (waralaba)? (Azzam, Yogyakarta).

 

Jawab :

 

Waralaba (franchise) adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha yang disebut franchisor (pemberi waralaba), terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha miliknya dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain yang disebut franchisee (penerima waralaba) dengan imbalan berupa royalty (sejenis bagi hasil) dan sering kali juga berupa one-time initial fee (sejenis uang sewa) berdasarkan suatu perjanjian waralaba. (Peraturan Pemerintah No. 42/2007 Tentang Waralaba; www.franchise.org/faqs/basics/what-is-a-franchise).

 

Kewajiban-kewajiban franchisor (atau hak-hak franchisee) adalah; pertama, mengizinkan penggunaan merek, paten, dan yang sejenisnya. Kedua, memberi pelatihan terkait merek (brand) untuk menjaga kualitas barang dan jasa. Ketiga, memegang leadership dan memberi support (seperti marketing, dll). Keempat, melakukan pengawasan (control).

 

Sedangkan hak-hak franchisor (atau kewajiban-kewajiban franchisee) adalah; pertama, mendapatkan franchise fee (atau disebut juga one-time initial fee) yaitu sejenis uang sewa merek selama masa kontrak franchise, yang biasanya dibayar sekali di depan. Kedua, mendapatkan continuing fee (atau disebut juga royalty), yang sering diindonesiakan dengan istilah (“bagi hasil”). Besarnya royalty ini berupa persentase dari nilai penjualan (revenue/omzet) dalam jangka waktu tertentu, misalnya 10% dari nilai penjualan dalam satu bulan. Namun dalam standar peraturan franchise, segala keuntungan dan risiko bisnis menjadi tanggung jawab franchisee secara independen, bukan tanggung jawab pihak franchisor. (www.franchise.org/faqs/basics/what-is-a-franchise).

 

Fakta franchise di atas tidak sesuai syariah, karena banyak pelanggaran syariah (mukhâlafât syar’iyyah) dalam akad dan berbagai syarat dan ketentuan (S&K) pada franchise, di antaranya :

 

Pertama, terjadi multiakad (hybrid contracts/shafqataini fî shafqatin wahidah) yang telah dilarang syariah, yaitu penggabungan dua akad dimana satu akad mempersyaratkan akad lain secara mengikat (mulzim). Dalam franchise terjadi penggabungan mengikat antara akad sewa merek, yang berkonsekuensi adanya one-time initial fee, dengan akad syirkah yang berkonsekuensi adanya bagi hasil (royalty) dari nilai penjualan (revenue/omzet). Padahal syara’ telah mengharamkan terjadinya multiakad tersebut sesuai hadits berikut ini :

 

عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنهما عن أبيه قال نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِي صَفْقَةٍ وَاحِدَةٍ

 

Dari Abdullah Ibnu Mas’ud RA dari ayahnya, dia berkata, “Rasulullah SAW telah melarang penggabungan dua akad ke dalam satu akad [secara mengikat] (nahâ rasûlullah SAW ‘an shafqataini fî shafqatin wâhidatin).”  (HR Ahmad, I/398). (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islâmiyyah, Juz II, hlm. 308).

 

Kedua, bagi hasil berupa royalty yang berbasis revenue sharing bertentangan dengan cara bagi hasil syar’i yang basisnya profit sharing (pembagian laba), bukan revenue sharing (pembagian pendapatan). Ali bin Abi Thalib RA menjelaskan prinsip bagi hasil syirkah dengan berkata :

 

الوَضيعَةُ عَلَى الْمَالِ والرِّبْحِ عَلَى مَا اصْطَلَحُوا عَلَيْهُ

 

”Kerugian ditanggung sesuai kadar modal, sedangkan keuntungan (ar-ribhu, profit) dibagi berdasarkan kesepakatan.” (Mushannaf ‘Abdur Razâq, Juz VIII, hlm. 248-249; Mushannaf Ibnu Abî Syaibah, Juz V, hlm. 4; Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizhâm Al-Iqtishâdi fî Al-Islâm, hlm. 148).  Jadi, jelas bahwa yang dibagihasilkan dalam syirkah itu adalah profit (Arab : ar-ribhu), bukan pendapatan (revenue, Arab : ad-dakhl/al-wârid).

 

Ketiga, ketentuan bahwa franchisor tidak turut menangung risiko bisnis, dan semua risiko menjadi tanggung jawab franchisee semata, bertentangan dengan hukum syirkah Islami yang menetapkan prinsip profit and loss sharing (berbagi laba dan kerugian) secara adil di antara para pesyirkah dalam akad syirkah. (‘Abdul ‘Azîz Al-Khayyâth, Asy-Syarikât fî Asy-Syarî’ah Al-Islâmiyyah wa Al-Qânûn Al-Wadh’î, Juz II, hlm. 341).

 

Solusinya, pada franchise ini diterapkan akad tunggal, bukan akad ganda (multiakad), yaitu akad sewa merek saja, atau yang disebut dengan istilah ijârat al-mârikah at-tijâriyyah, atau ijârat al-‘alâmat at-tijâriyyah sesuai hukum-hukum al-ijârah dalam Islam. (Muhammad Taqî Al-‘Ustmânî, Fiqhûl Buyû’ Alâ Al-Madzâhib Al-Arba’ah, Juz I, hlm. 269). Wallahu a’lam.


Artikel Lainnya





Bagi para pembaca yang ingin menanyakan masalah Agama kepada KH. M. Shiddiq Al Jawi, silakan isi form pertanyaan di bawah ini. KH. M. Shiddiq Al Jawi insya Allah akan berusaha menjawab pertanyaan dari para pembaca melalui email.