Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi Tanya : Assalamu'alaikum, afwan Ustadz saya izin bertanya mengenai hukum bekerja di expedisi bagian gudang/kurir. Karena saya ragu karena takut ada barang haram seperti pakaian-pakaian yang membuka aurat, atau benda haram yang lain yang kita antarkan ke konsumen. Bagaimanakah dengan hukum pekerjaan tersebut, Ustadz? (Hamba Allah) Jawab : Wa ‘alaikumus salam wr. Wb. Orang yang bekerja di expedisi hukumnya tidak lepas dari 3 (tiga) kemungkinan sebagai berikut : Pertama, bekerja di expedisi yang mengantarkan barang-barang yang diyakini 100% barang yang halal menurut Syariah Islam, misalnya obat-obatan herbal, buku-buku Islami, baju gamis laki-laki, busana muslimah, sajadah, parfum non-alkohol, dan sebagainya. Bekerja sebagai expedisi yang mengantarkan barang-barang halal seperti itu kepada konsumen tidak diragukan adalah pekerjaan yang halal dalam Syariah Islam. Hal ini karena pekerjaan yang dilakukan memenuhi syarat keabsahan akad ijarah, yaitu pekerjaannya merupakan manfaat-manfaat yang mubah (dibolehkan syariah), maka akad ijarah (bekerja) dengan pekerjaan-pekerjaan seperti di atas hukumnya halal (boleh). Imam Taqiyuddîn An-Nabhânî menyatakan : يُشْتَرَطُ لِصِحَّةِ الإِجارَةِ أَنْ تَكونَ المَنْفَعَةُ مُباحَةً ، وَلَا تَجُوزُ إِجارَةُ الأَجيرِ فِيمَا مَنْفَعَتُهُ مُحَرَّمَةٌ “Disyaratkan untuk keabsahan akad ijarah, bahwa manfaat [yang diberikan pekerja] haruslah manfaat yang mubah [dibolehkan syariah], dan tidak boleh melakukan akad ijarah dengan mempekerjakan seorang pekerja untuk melakukan segala pekerjaan dengan manfaat yang telah diharamkan syariah.” (Taqiyuddîn An-Nabhânî, An-Nizhâm Al-Iqtishâdî fî Al-Islâm, hlm.91). Kedua, bekerja di expedisi yang mengantarkan barang-barang yang diyakini 100% barang yang haram menurut Syariah Islam, misalnya khamr (minuman keras), narkoba (al-mukhaddirât, drugs) dalam berbagai jenisnya, seperti sabu-sabu, ganja, pil ekstasi, dsb, barang-barang keagamaan dari agama di luar Islam, misalnya kalung salib, baju pendeta, baju biarawati, dsb, termasuk juga baju-baju wanita yang jika dipakai wanita muslimah akan menampakkan aurat mereka, atau membentuk tubuh mereka, seperti bikini, lingerie, tank top, celana jins, dsb. Bekerja di expedisi yang mengantarkan barang-barang yang diyakini 100% barang yang haram tersebut, hukumnya juga haram menurut Syariah Islam. Hal ini karena pekerjaaan (jasa) yang dilakukan telah diharamkan oleh syara’, maka akad ijarah-nya, yakni bekerja sebagai expedisi yang mengantarkan barang-barang haram tersebut, juga diharamkan dalam Syariah Islam. Keharaman pekerjaan yang demikian didasarkan pada beberapa dalil syar’i, di antaranya ayat Al-Qur`an yang melarang umat Islam tolong menolong dalam berbuat dosa, sebagaimana firman Allah SWT : وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖ “Dan janganlah kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (QS Al-Mâ`idah : 2). Selain itu, keharaman pekerjaan tersebut juga dapat disandarkan pada suatu kaidah fiqih (al-qâwa’id al-fiqhiyyah) yang berkaitan dengan masalah ini yang berbunyi : اَلْإِعَانَةُ عَلَى الْحَرَامِ حَرَامٌ “Memberi bantuan pada yang haram, hukumnya juga haram.” (Ibnu Taimiyyah, Al-Fatâwâ Al-Kubrâ, Juz 6, hlm. 313). Keharamannya juga dapat disandarkan pada dhawâbith fiqhiyyah yang terdapat dalam bab fiqih Ijarah berikut ini : وَلَا تَجُوزُ الإِجارَةُ عَلَى المَنافِعِ المُحَرَّمَةِ “Tidak boleh akad ijarah pada manfaat-manfaat yang telah diharamkan.” (Imam Nawawi, Al-Majmû’ Syarah Al-Muhadzdzab, Juz 15, hlm. 3). Ketiga, bekerja di expedisi yang mengantarkan barang-barang yang sifatnya campuran dari segi hukum syara’-nya, yakni sebagian barang adalah barang-barang halal dan sebagian lagi adalah barang-barang yang haram. Misalnya, bisa jadi sebuah expedisi biasanya mengirimkan barang-barang berupa makanan yang halal seperti buah-buahan, sayur-sayuran, biskuit, dsb, tapi terkadang juga mengirimkan barang yang haram, seperti khamr (minuman keras), dsb. Dalam kondisi demikian, menurut pendapat yang kami rajihkan, bekerja di expedisi semacam ini hukumnya haram, sesuai kaidah fiqih : إِذَا اجْتَمَعَ الحَلالُ والْحَرامُ غُلِّبَ الحَرامُ "Jika bercampur yang halal dengan yang haram maka dimenangkan yang haram.” (Imam Jalaluddîn As-Suyûthî, Al-Asybâh wa An-Nazhâ`ir, hlm. 105. Lengkapnya lihat kitab Qâ’idah Idzâ ijtama’al Halâl wal Harâm Ghullibal Harâm karya Syekh Ahmad bin Muhammad As-Sarâh). Penerapan kaidah tersebut banyak sekali, salah satunya dapat diterapkan untuk seorang pekerja di sebuah expedisi yang kadang mengirim barang yang haram namun terkadang juga mengirim barang yang halal. Dalam kondisi seperti ini, yaitu bercampurnya hukum halal dan haram pada suatu fakta, maka yang dikuatkan atau dimenangkan adalah hukum haram. Inilah jawaban kami untuk pertanyaan di atas. Untuk menambah faidah, dan untuk lebih memahami penerapan kaidah fiqih tersebut, kami akan tambahkan contoh-contoh penerapan kaidah tersebut dari kitab karya Syekh Ahmad bin Muhammad As-Sarâh yang berjudul Qâ’idah Idzâ ijtama’al Halâl wal Harâm Ghullibal Harâm. Contoh-contohnya sebagai berikut : Contoh pertama : مسألة المُتَوَلِّد مِن مأكولٍ وغيره؛ كالبغل، وأنَّه لا يَحِلُّ أَكْلُه Masalah hewan yang dilahirkan dari persilangan hewan yang halal dimakan dan hewan yang tidak halal dimakan, seperti baghal (peranakan kuda dan keledai), maka hewan peranakan itu hukumnya tidak halal untuk dimakan, yakni dikuatkan hukum haram atas hukum halal. Contoh kedua : مسألة ما تولَّد مِن وَحْشِيٍّ وغيرِه لا يجوزُ للمُحْرِمِ قتْلُه تغليبًا للحرامِ على الحلال Masalah hewan yang dilahirkan dari persilangan hewan liar dan hewan yang tidak liar, maka bagi orang yang berihram, hukumnya tidak halal membunuhnya, yakni dimenangkan hukum haram atas hukum halal. Contoh ketiga : مسألة لو اشْتَبَهَتْ مَيْتَةٌ بمُذكَّاةٍ لم يَجُزْ تناوُلُ شيء منها. Masalah kalau seandainya tersamar (tak jelas, atau bercampur) antara bangkai [yang haram] dan hewan yang disembelih secara syar’i [yang halal], maka tidak boleh memakan sedikitpun sesuatu yang tersamar / tercampur itu. Contoh keempat, yaitu : مسألة لو اشترَك في الصَّيْد أو الذَّبْح مسلمٌ ومجوسيٌّ، فإنَّهُ لا يجوزُ أكْلُ هذا الصَّيدِ أو هذه الذَّبيحَة Masalah kalau orang muslim dan orang Majusi secara bersama-sama berburu binatang atau menyembelih binatang, maka hukumnya tidak halal memakan hewan hasil buruan atau hewan sembelihannya. Contoh kelima : لو اختلطتْ واشْتَبَهَتْ زوجَتُه بغيرها فيَحْرُم عليه الوَطْءُ تغليبًا للحرامِ على الحلال Masalah kalau andaikata bercampur baur antara istri seseorang dan perempuan-perempuan lain (di suatu kamar, dsb) maka haram hukumnya bagi seorang laki-laki (suami) menggauli salah satunya dari sejumlah perempuan yang ada, yakni dikuatkan hukum haram atas hukum halal. Contoh keenam, contoh kontemporer, yaitu : حُكمُ المساهَمَة بالشَّرِكات المختَلِطَة التي أصْلُ نشاطِها مباحٌ، ولكنَّها قد تُودِعُ في بعض الأحيان في البنوك أموالًا بفوائِدَ أو تقترِضُ بفوائدَ، وذكر أقوالَ العلماء المعاصرين فيها، ثم رجَّحَ القولَ بتحريم الاتِّجَار والمساهَمَة في هذه الشَّرِكات؛ وذلك تغليبًا لجانب الحرام. Hukum mempunyai saham dari perusahaan yang bercampur [modalnya], yang bidang kegiatannya pada dasarnya mubah, tetapi kadang perusahaan itu meletakkan modalnya di bank dengan mendapat bunga, atau meminjam modal dengan memberi bunga, maka setelah penulis kitab menyebut beberapa pendapat ulama dalam masalah ini, penulis kitab merajihkan pendapat yang mengharamkan, yakni memenangkan hukum haram atas hukum halal. Demikianlah contoh-contoh penerapan kaidah fiqih tersebut dari kitab berjudul Qâ’idah Idzâ ijtama’al Halâl wal Harâm Ghullibal Harâm Syekh Ahmad bin Muhammad As-Sarâh yang terdapat di link sbb : https://dorar.net/article/1862/ قاعدة-إذا-اجتمع-الحلال-والحرام-غلب-الحرام Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. Yogyakarta, 12 Oktober 2022 Shiddiq Al-Jawi
Bagi para pembaca yang ingin menanyakan masalah Agama kepada KH. M. Shiddiq Al Jawi, silakan isi form pertanyaan di bawah ini. KH. M. Shiddiq Al Jawi insya Allah akan berusaha menjawab pertanyaan dari para pembaca melalui email.