PENYALAHGUNAAN KAIDAH FIQIH UNTUK MELEGITIMASI SECURITY TIDAK SHOLAT JUMAT


 

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

 

Tanya :

Assalamu ‘alaikum wr wb. Ustadz Shiddiq, Semoga sehat selalu. Afwan ingin bertanya sekaligus mohon penjelasan terkait hukum security yang meninggalkan sholat Jum'at? Dalil yang biasanya mereka gunakan adalah : (1) Kondisi darurat karena menjaga keamanan; (2) Kaidah fiqh “Dar‘ul Mafaasid Muqoddamun ‘ala jalb al-Mashalih”. Matur nuwun atas bantuannya. Jazakallahu khairan. (Bey LH, Purwakarta).

 

Jawab :

Penggunaan kaidah-kaidah fiqih tersebut untuk menggugurkan kewajiban sholat Juma’at bagi seorang security (satpam) adalah batil dan tidak dapat diterima.

 

Mengenai alasan pertama yang mereka kemukakan, yaitu kondisi darurat karena menjaga keamanan, sungguh tidak dapat diterima, karena definisi darurat yang shahih adalah kondisi terancamnya jiwa, atau yang mendekati itu, misalnya kehilangan anggota tubuh, misalnya mata menjadi buta, kaki lumpuh, dsb. Apakah security (satpam) tersebut menghadapi kondisi terancamnya jiwa ketika bertugas sehingga security (satpam) tersebut lalu meninggalkan sholat Jum’at demi menyelamatkan nyawanya? Tidak, bukan?

 

Kondisi maksimal yang mungkin dibayangkan adalah kondisi khawatir akan hilangnya harta, bukan hilangnya nyawa. Padahal kekhawatiran hilangnya harta, tidak termasuk kondisi darurat, menurut definisi yang shahīh atau rājih dari istilah darurat, seperti yang akan kami uraikan.

 

Berikut ini kami bentangkan berbagai definisi darurat menurut ulama mazhab empat dan ulama kontemporer, yang terhimpun dalam kitab Al-Dharūrah wa Al-Hājah wa Atsaruhumā fī At-Tasyrī’ Al-Islāmī, karya Syekh Abdul Wahhab Ibrahim Abu Sulaiman (1994), dan kitab Nazhariyyah Al-Dharūrah Al-Syar‘iyyah, karya Syekh Wahbah az-Zuhaili (1997).

 

1.Definisi Darurat Menurut Mazhab Hanafi

Imam Al-Jashshash dalam kitabnya Ahkām al-Qur’ān (I/150) ketika membahas makhmashah (kelaparan parah) mengatakan :

 

اَلضَّرُوْرَةُ هِيَ خَوْفُ الضَّرَرِ أَوِ الْهَلاَكِ عَلىَ النَّفْسِ أَوْ بَعْضِ اْلأَعْضاَءِ بِتَرْكِ اْلأَكْلِ

 

“Darurat adalah rasa takut akan ditimpa bahaya (dharar) atau kehancuran terhadap jiwa (khawatir terjadi kematian) atau kerusakan sebagian anggota tubuh jika tidak makan.”

 

Imam Al-Bazdawi dalam Kasyf Al-Asrār (IV/1518) menyebutkan definisi serupa, yaitu :

 

مَعنىَ اَلضَّرُوْرَةِ فِي الْمَخْمَصَةِ أَنَّهُ لَو امْتَنَعَ عَنِ التَّناَوُلِ يُخاَفُ تَلَفُ النَّفْسِ أَوِ الْعُضْوِ

 

“Makna darurat, dalam makhmashah (kelaparan parah), ialah jika seseorang tidak mau makan, dikhawatirkan ia akan kehilangan jiwa atau kehilangan anggota badannya.”

 

Sedangkan dalam kitab Durar Al-Ahkām Syarah Majallat Al-Ahkām Al-‘Adliyyah (I/34), Syekh Ali Haidar mengatakan :

 

اَلضَّرُوْرَةُ هِيَ  الْحاَلَةُ الْمُلْجِئَةُ لِتَناَوُلِ الْمَمْنُوْعِ شَرْعاً

 

“Darurat adalah keadaan yang memaksa [seseorang] untuk memakan sesuatu yang dilarang oleh syariat (al-hālah al-mulji’ah li tanāwul al-mamnū‘ syar‘an).”

 

  1. Definisi Darurat Menurut Mazhab Maliki.

Imam Ibnu Jizzi al-Gharnati dalam Al-Qawānīn Al-Fiqhiyyah (hlm. 194) mengatakan :

 

أَماَّ الضَّرُوْرَةُ فَهِيَ خَوْفُ الْمَوْتِ

 

“Adapun darurat, artinya adalah kekhawatiran akan kematian.”

 

Demikian juga Imam Ad-Dardir dalam Al-Syarh Al-Kabīr (II/115) mengatakan :

 

الضَّرُوْرَةُ هِيَ الْخَوْفُ عَلىَ النَّفْسِ مِنَ الْهَلاَكِ عِلْماً أَوْ ظَناًّ

 

“Darurat ialah kekhawatiran akan mengalami kematian, baik kekhawatiran itu bersifat pasti maupun bersifat dugaan (zhann).”

 

  1. Definisi Darurat Menurut Mazhab Syafi‘i

Imam Al-Suyuthi, dalam Al-Asybāh wa an-Nazhā’ir (hlm. 61), mengatakan bahwa :

 

الضَّرُوْرَةُ  بُلُوْغُهُ حَدّاً إِنْ لَمْ يَتَناَوَلِ الْمَمْنُوْعَ هَلَكَ أَوْ قاَرَبَ

 

“Darurat adalah sampainya (seseorang) pada batas ketika ia tidak memakan yang dilarang, ia akan binasa (mati) atau mendekati mati (kehilangan anggota tubuh, seperti buta, lumpuh, dsb).”

 

Imam Muhammad Al-Khathib Al-Syarbaini dalam Mughni al-Muhtāj (IV/306) menyatakan :

 

مَنْ خاَفَ مِنْ عَدَمِ اْلأَكْلِ عَلىَ نَفْسِهِ مَوْتاً أَوْ مَرَضاً مُخَوِّفاً أَوْ زِياَدَتَهُ أَوْ طُوْلَ مُدَّتِهِ... وَلَمْ يَجِدْ حَلاَلاً يَأْكُلُهُ وَوَجَدَ مُحَرَّماً لَزِمَهُ أَكْلَهُ

 

“Darurat adalah rasa khawatir karena tidak makan yang dapat menimbulkan kematian atau sakit yang menakutkan atau mengakibatkan semakin parahnya penyakit ataupun semakin lamanya sakit…, sementara ia tidak mendapatkan yang halal untuk dimakan, dan dia hanya mendapat yang diharamkan, maka saat itu ia mesti makan yang haram itu.”

 

  1. Definisi Darurat Menurut Mazhab Hanbali.

Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughnī (VIII/595) menyatakan :

 

اَلضَّرُوْرَةُ الْمُبِيْحَةُ هَيَ التَّيِ يُخاَفُ التَّلَفُ بِهاَ إِنْ تَرَكَ اْلأَكْلَ

 

“Darurat yang membolehkan seseorang makan yang haram (al-dharūrah al-mubīhah) adalah darurat yang dikhawatirkan akan membuat seseorang binasa (mati) jika ia tidak memakan (yang haram).”

 

  1. Definisi Darurat Menurut Ulama Kontemporer

Syekh Muhamad Abu Zahrah, dalam Ushūl al-Fiqh (hlm. 43), mendefinisikan darurat sebagai berikut :

 

اَلضَّرُوْرَةُ هِيَ الْخَشْيَةُ عَلىَ الْحَياَةِ إِنْ لَمْ يَتَنَاوَلِ الْمَحْظُوْرَ، أَوْ يُخْشىَ ضَياَعُ مَالِهِ كُلِّهِ

 

“Darurat adalah kekhawatiran akan terancamnya kehidupan jika tidak memakan yang diharamkan, atau khawatir akan musnahnya seluruh harta miliknya.”

 

Syekh Mustafa Az-Zarqa’, dalam kitabnya Al-Madkhal Al-Fiqhī Al-‘Ām (I/991), menyatakan bahwa :

 

اَلضَّرُوْرَةُ هِيَ ماَ يَتَرَتَّبُ عَلىَ عِصْياَنِهاَ خَطْرٌ، كَماَ فِي اْلإِكْراَهِ الْمُلْجِئِ وَخَشْيَةِ الْهَلاَكِ جُوْعاً

 

“Darurat adalah sesuatu yang jika diabaikan akan berakibat bahaya, sebagaimana halnya al-ikrāh al-mulji’ [paksaan yang mengancam jiwa] dan khawatir akan binasa (mati) karena kelaparan.”

 

Syekh Wahbah Az-Zuhaili, dalam Nazhariyyah Al-Dharūrah (hlm. 67-68), mendefinisikan darurat sebagai berikut :  

 

اَلضَّرُوْرَةُ هِيَ أَنْ تَطْرَأَ عَلىَ اْلإِنْساَنِ حَالَةٌ مِنَ الْخَطَرِ أَوِ المَشَقَّةِ الشَّدِيْدَةِ بِحَيْثُ يُخاَفُ حُدُوْثِ ضَرَرٍ أَوْ أَذىً بِالنَّفْسِ أَوْ بِالْعُضْوِ أَوْ بِالْعِرْضِ أَوِ بِالْماَلِ أَوْ تَوَابِعِهاَ

 

“Darurat adalah datangnya bahaya (khathr) bagi manusia atau kesulitan (masyaqqah) yang amat berat, yang membuat dia khawatir akan terjadinya madharat atau sesuatu yang membahayakan atas jiwanya, anggota tubuh, kehormatan, akal, harta, dan hal-hal lain yang menjadi derivat-derivatnya.”

 

Analisis dan Tarjih Terhadap Definisi Darurat

Berbagai definisi ulama mazhab empat mempunyai pengertian yang hampir sama, yaitu kondisi terpaksa yang dikhawatirkan dapat menimbulkan kematian, atau mendekati kematian. Dengan kata lain, semuanya mengarah pada tujuan pemeliharaan jiwa (hifzh an-nafs).

 

Syekh Wahbah Az-Zuhaili menilai definisi tersebut tidaklah lengkap, sebab menurutnya, definisi darurat haruslah mencakup semua yang berakibat dibolehkannya yang haram atau ditinggalkannya yang wajib. Maka dari itu, Az-Zuhaili menambahkan tujuan selain memelihara jiwa, seperti tujuan memelihara harta, akal, dan kehormatan. Syekh Abu Zahrah juga menambahkan tujuan pemeliharaan harta, sama dengan Syekh Wahbah Az-Zuhaili. Akan tetapi, apakah definisi yang lebih “lengkap” ini otomatis lebih rājih (kuat)?

 

Sesungguhnya definisi darurat haruslah dikembalikan pada nash-nash yang menjadi sumber pembahasan darurat. Sebab, istilah darurat memang bersumber dari beberapa ayat Al-Quran, yang berkaitan dengan kondisi keterpaksaan yang mengancam jiwa karena ketiadaan makanan, yang akhirnya membolehkan seseorang memakan yang haram, seperti babi, bangkai, dan sebagainya.

 

Ayat-ayat Al-Qur`an tersebut terdapat misalnya dalam QS Al-Baqarah [2]: 173; QS Al-Mā`idah [5]: 3; QS Al-An‘ām [6]: 119; QS Al-An‘ām [6]: 145; dan QS An-Nahl [16]: 115. (Asjmuni Abdurrahman, Qawā‘id Fiqhiyyah: Arti, Sejarah, dan Beberapa Qa’idah Kulliyah, Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2003, hlm. 42-43).

 

Sebagai contoh, kita perhatikan firman Allah SWT dalam QS Al-Baqarah 173 berikut ini :

 

اِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ بِهٖ لِغَيْرِ اللّٰهِۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّلَا عَادٍ فَلَآ اِثْمَ عَلَيْهِۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ 

 

“Sesungguhnya Dia (Allah) hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Akan tetapi, siapa saja yang terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Baqarah [2] : 173).

 

Ayat-ayat seperti ini, intinya menerangkan bahwa kondisi darurat itu hanyalah karena terancamnya jiwa jika tidak memakan yang haram, seperti bangkai, darah, daging babi. Jadi, kunci persoalannya bukanlah pada lengkap tidaknya definisi darurat, melainkan pada makna dalil-dalil syariat yang mendasari definisi darurat itu sendiri.

 

Berdasarkan ayat-ayat itulah, Imam Taqiyuddin an-Nabhani, dalam Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyyah (III/486) mendefinisikan darurat sebagai berikut :

 

اَلضَّرُوْرَةُ هِيَ اْلإِكْراَهُ الْمُلْجِئُ الَّذِيْ يُخْشىَ مِنْهُ الْهَلاَكُ

 

“Darurat adalah keterpaksaan yang sangat mendesak yang dikhawatirkan akan dapat menimbulkan kebinasaan/kematian (al-idhthirār al-mulji’ alladzī yukhsyā minhu al-halāk).”

 

Inilah definisi darurat yang shahīh dan rājih, yaitu kondisi terpaksa yang mengancam jiwa, yang membolehkan yang haram, sebagaimana termaktub dalam kaidah fiqih yang masyhur yang berbunyi : Ad-dharūrat tubîh al-mahzhūrat (Kondisi darurat membolehkan yang diharamkan) (Abdul Hamid Hakim, As-Sulam, hlm. 59).

 

Definisi Imam Taqiyuddin an-Nabhani untuk istilah darurat tersebut dekat dengan definisi Syekh Mustafa az-Zarqa‘ dan kurang lebih sama maknanya dengan definisi darurat menurut ulama mazhab yang empat. Adapun definisi Syekh Wahbah Zuhaili dan Syekh Abu Zahrah, yang menambahkan makna-makna lain di luar terancamnya jiwa untuk istilah darurat, adalah definisi yang marjūh (lemah), dan tidak sesuai dengan nash-nash syariah yang mendasari definisi darurat.

 

Berdasarkan uraian yang panjang lebar mengenai definisi darurat di atas, kesimpulan ringkasnya, kondisi darurat adalah kondisi terancamnya jiwa, yaitu ada kekhawatiran akan timbulnya kematian, bukan yang lain. Jadi kalau ada kekhawatiran hilangnya harta, misalnya, maka menurut definisi yang kami rajihkan di atas, tidaklah termasuk ke dalam kondisi darurat.

 

Dengan demikian, penggunaan kaidah fiqih mengenai darurat yang berbunyi Ad-dharūrat tubîh al-mahzhūrat (kondisi darurat membolehkan yang diharamkan), untuk menggugurkan kewajiban sholat Juma’at bagi seorang security (satpam) adalah batil dan tidak dapat diterima, karena kondisi daruratnya sendiri itu sebenarnya tidak ada.

 

Adapun penggunaan kaidah kaidah fiqh “Dar‘ul Mafāsid Muqoddamun ‘ala jalb al-Mashālih” (menolak kerusakan itu lebih didahulukan daripada mendapatkan kemaslahatan) untuk melegitimasi security (satpam) meninggalkan sholat Jumat, nasibnya juga sama dengan penyalahgunaan kaidah fiqih seputar darurat yang sudah kami jelaskan di atas.

 

Penyalahgunaan kaidah fiqih itu sesungguhnya juga adalah batil dan tidak dapat diterima sama sekali untuk menggugurkan kewajiban sholat Jumat bagi security (satpam). Hal ini karena ada 2 (dua) alasan sebagai berikut :

 

Pertama, kaidah fiqih itu secara umum tidak dapat digunakan untuk menggugurkan suatu kewajiban yang sudah pasti, seperti kewajiban sholat Jumat, yang kewajibnya ditetapkan berdasarkan nash Al-Qur`an (sumber hukum pertama dalam Islam) dan As-Sunnah (sumber hukum kedua dalam Islam). Sedangkan kaidah fiqih itu, levelnya hanyalah setara dengan Qiyas (sumber hukum keempat dalam Islam). Bagaimana mungkin, suatu kewajiban yang ditetapkan oleh Al-Qur`an dan As-Sunnah, dapat dibatalkan dengan dalil Qiyas? Tidak mungkin, bukan?

 

Kewajiban sholat Jumat, didasarkan pada firman Allah SWT :

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلٰوةِ مِنْ يَّوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللّٰهِ وَذَرُوا الْبَيْعَۗ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

 

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu telah diseru untuk melaksanakan shalat pada hari Jum‘at, maka bersegeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS Al-Jumu’ah : 9).

 

Selain dalil Al-Qur`an itu, wajibnya sholat Jumat juga didasarkan dalil As-Sunnah sbb :

 

اَلْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلىَ كُلِّ مُسْلِمٍ فِيْ جَماَعَةٍ إلاَّ أَرْبَعَةٌ :عَبْدٌ مَمَلُوْكٌ أوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيْضٌ

 

 

“Shalat Jum’at adalah wajib hukumnya bagi setiap-tiap muslim dengan berjama’ah kecuali empat golongan, yaitu; hamba sahaya (budak), wanita, anak kecil, dan orang sakit.” (HR. Abu Dawud no. 1067, dinilai sebagai hadits shahih oleh Syekh Nashiruddin Al-Albani dalam Shahih Abu Dawud)


Lalu bagaimana mungkin, kewajiban sholat Jumat yang terbukti (tsābit) berdasarkan dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah itu, dibatalkan atau dikalahkan dengan kaidah fiqih yang berbunyi :

 

دَرْءُ الْمَفاَسِدِ مُقَدَّمٌ عَلىَ جَلْبِ الْمَصاَلِحِ

 

Dar‘ul Mafāsid Muqoddamun ‘ala jalb al-Mashālih” (menolak kerusakan itu lebih didahulukan daripada mendapatkan kemaslahatan).

 

Jadi, perlu diketahui, bahwa penggunaan kaidah fiqih itu ada aturan mainya (dhawābit)-nya, di antara adalah kita harus tahu positioning (kedudukan) dari kaidah fiqih itu dalam tartib dalil-dalil syar’i (urutan kekuatan dalil-dalil syar’i/sumber-sumber hukum). Imam Taqiyuddīn An-Nabhānī, rahimahullāh, menjelaskan bahwa kaidah fiqih, atau istilah Arabnya qawā’id kulliyyah (qawā’id fiqhiyyah) itu diamalkan sebagaimana pengamalan Qiyas. (Taqiyuddīn An-Nabhānī, Al-Syakhṣiyyah Al-Islāmiyyah, III/452).

 

Imam Taqiyuddīn An-Nabhānī selengkapnya berkata :

 

فَالْقَوَاعِدُ الْكُلِّيَّةُ تُعَامَلُ مُعَامَلَةَ الْقِيَاسِ ، فَكُلُّ مَا انْطَبَقَتْ عَلَيْهِ الْقَاعِدَةُ يَأْخُذُ حُكْمَهَا ، إلَّا أَنْ يَرِدَ نَصٌّ شَرْعِيٌّ عَلَى خِلَافِ مَا فِي الْقَاعِدَةِ ، فَيُعْمَلُ بِالنَّصّ، وَتُلْغَى الْقَاعِدَةُ كَمَا هِيَ الْحَالُ فِي الْقِيَاسِ

 

"Jadi, qawā’id kulliyyah (qawā’id fiqhiyyah) itu diamalkan sebagaimana pengamalan Qiyas, maka segala kasus yang dapat dihukumi dengan qaidah fiqih,  maka kasus itu dapatlah dihukumi dengan qaidah fiqih tersebut, kecuali terdapat suatu nash syar’i (nash Al-Qur`an atau nash As-Sunnah) yang menyalahi hukum yang terdapat di dalam qaidah fiqih itu. Dalam kondisi demikian, yang diamalkan adalah nash, sedangkan qaidah fiqihnya dibatalkan, sebagaimana ketentuan yang berlaku dalam pengamalan Qiyas.” (Taqiyuddīn An-Nabhānī, Al-Syakhṣiyyah Al-Islāmiyyah, III/452).

 

Dengan demikian jelaslah, bahwa kaidah fiqih Dar‘ul Mafāsid Muqoddamun ‘ala jalb al-Mashālih tidak boleh digunakan untuk melegitimasi seorang security (satpam) tidak sholat Jumat, karena wajibnya sholat Jumat itu telah ditetapkan berdasarkan dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah, yang jelas lebih kuat dan kokoh dibandingkan dengan kaidah fiqih yang hanya sederajat dengan Qiyas.

 

Kedua, alasan kedua mengapa penggunaan kaidah fiqih Dar‘ul Mafāsid Muqoddamun ‘ala jalb al-Mashālih tidak boleh digunakan untuk melegitimasi seorang security (satpam) tidak sholat Jumat, karena kaidah fiqih tersebut, secara khusus hanya dapat diamalkan untuk hal-hal yang hukumnya mubah (diperbolehkan syariah), yang ternyata dapat menimbulkan kontradiksi antara manfaat dan mudharat dari sesuatu yang mubah itu. Maka dalam kondisi seperti ini, yang diutamakan adalah menolak mudharat, bukan mencari manfaatnya.

 

Hal itu dapat disimpulkan dari contoh-contoh penerapan kaidah fiqih tersebut, yang diberikan oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka, khususnya kitab mengenai kaidah-kaidah fiqih. Kita akan mengambil contoh-contoh berikut ini dari kitab Syarah Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah, karya Syekh Mushthofa Ahmad Az-Zarqa, halaman 205-206, dan dari kitab Syekh Muhammad Mushthofa Az-Zuhaili, Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah wa Tathbīqātuhā fī Al-Madzāhib Al-Arba’ah, Damaskus : Darul Fikr, Cetakan I, 1427 H/2006 M, halaman 238-239.

 

Syekh Mushthofa Ahmad Az-Zarqa dan Syekh Muhammad Mushthofa Az-Zuhaili memberikan beberapa contoh penerapan kaidah fiqih Dar‘ul Mafasid Muqoddamun ‘ala jalb al-Mashalih, sebagai berikut :

 

Pertama, ada seorang laki-laki yang mempunyai jendela rumah yang jika dibuka, akan dapat melihat wanita tetangganya yang bukan mahram. Dalam kondisi demikian, manakah yang lebih diutamakan, apakah yang lebih utama adalah menutup jendela itu, ataukah membukanya. Bagi pemilik rumah itu (laki-laki), dia berhak (boleh) membuka jendela rumahnya, dan berhak pula menutup jendela rumahnya. Tetapi jika dia membuka jendela rumahnya itu, ternyata mengakibatkan dia dapat melihat wanita tetangganya yang bukan mahramnya. Ini adalah haram (mafsadat). Maka dalam kondisi ini, terjadi kontradiksi antara manfaat dan mudharat. Dalam kondisi seperti inilah, menolak mudharat, yakni menutup jendela, lebih diutamakan daripada membukanya, untuk mendapat manfaat terbukanya jendela, misalnya mencari angin segar, mendapat pemandangan alam, dsb.

 

Kedua, ada seseorang yang mempunyai tempat sampah di halaman rumahnya, yang ternyata menimbulkan mudharat bagi tetangganya, misalnya bau yang tidak sedap, dsb. Maka dalam kondisi ini, terjadi kontradiksi antara manfaat dan mudharat. Dalam kondisi seperti inilah, menolak mudharat, yakni menutup tempat sampah, atau menghilangkan dampak-dampak buruknya, lebih diutamakan daripada membuka tempat sampah itu apa adanya, untuk mendapat manfaat penampungan sampah bagi pemiliknya. Dalam kasus seperti ini, tetangga orang itu berhak meminta pemilik tempat sampah untuk menutup tempat sampah itu, atau minimal mengurangi dampak-dampak negatif dari penumpukan sampah yang ada.

 

Ketiga, mengenai seseorang yang mempunyai pabrik yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi rumah-rumah sekitarnya, misalnya dapat melemahkan konstruksi bangunan rumah-rumah tetangganya, atau dapat menimbulkan polusi udara berupa bau yang mengganggu atau asap yang mengotori udara. Dalam hal ini, membangun pabrik itu adalah suatu hak (boleh hukumnya) bagi seseorang. Tetapi jika pabrik ini didirikan di tengah pemukiman, dan tidak ada perlakuan khusus untuk menetralkan dampak-dampaknya, ternyata dapat menimbulkan mudharat bagi masyarakat sekitarnya. Dalam kondisi seperti inilah, menolak mudharat, yakni menutup pabrik lebih diutamakan daripada membukanya, untuk mendapat manfaat bagi pemilik pabrik berupa keuntungan bisnisnya.

 

(Lihat : Mushthofa Ahmad Az-Zarqa, Syarah Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah, Damaskus : Darul Qalam, Cetakan II, 1409 H/1989 M, hlm. 205-206; Muhammad Mushthofa Az-Zuhaili, Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah wa Tathbīqātuhā fī Al-Madzāhib Al-Arba’ah, Damaskus : Darul Fikr, Cetakan I, 1427 H/2006 M, hlm. 238-239; Muhammad Shidqi Al-Burnu, Mausū’ah Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah¸ Beirut : Mu`assasah Al-Risalah, 1416 H/1996 M, 4/315).   

 

Dari contoh-contoh yang diberikan para ulama di atas, dapat disimpulkan penggunaan kaidah fiqih Dar‘ul Mafāsid Muqoddamun ‘ala jalb al-Mashālih, secara khusus hanya dapat diamalkan untuk hal-hal yang hukumnya mubah (diperbolehkan syariah), yang ternyata dapat menimbulkan kontradiksi antara manfaat dan mudharat dari sesuatu yang mubah itu. Maka dalam kondisi seperti ini, yang diutamakan adalah menolak mudharat, bukan mencari manfaatnya.

 

Maka dari itu, penerapan kaidah Dar‘ul Mafāsid Muqoddamun ‘ala jalb al-Mashālih untuk hal-hal yang sifatnya wajib, seperti sholat Jumat, bukan pada hal-hal yang mubah, apalagi mengakibatkan pengguguran kewajiban sholat Jumat itu, sungguh adalah penerapan kaidah fiqih yang batil dan sama sekali tidak dapat diterima karena sudah melampaui batas dari cakupan penerapan kaidah fiqih yang dibenarkan syariah.

 

Kesimpulan

Dari seluruh uraian kami di atas, kesimpulannya adalah penggunaan dua kaidah fiqih di atas untuk menggugurkan kewajiban sholat Juma’at bagi seorang security (satpam) adalah batil dan tidak dapat diterima. Wallāhu a’lam.

 

Yogyakarta, 10 September 2024

 

Muhammad Shiddiq Al-Jawi


Artikel Lainnya





Bagi para pembaca yang ingin menanyakan masalah Agama kepada KH. M. Shiddiq Al Jawi, silakan isi form pertanyaan di bawah ini. KH. M. Shiddiq Al Jawi insya Allah akan berusaha menjawab pertanyaan dari para pembaca melalui email.