MUSYAWARAH SEBAGAI CARA PENGAMBILAN PENDAPAT DALAM ISLAM


 

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

 

Tanya :

Ustadz, bagaimanakah mekanisme pengambilan keputusan dalam organisasi? Misalnya, pengambilan keputusan di organisasi di sekolah. Misal kepanitian kegiatan. Ketua panitia selalu menggunakan musyawarah sebagai dasar pengambilan keputusan. Sedangkan seharusnya kan musyawarah hanya sebagai sarana untuk diskusi, sedang keputusan tetap di tangan ketua. (Hamba Allah, Yogyakarta).

 

Jawab :

Untuk menjawab pertanyaan seputar musyawarah atau syura tersebut, kami akan menjelaskan hukum musyawarah tersebut dalam 3 (tiga) pokok bahasan sebagai berikut;

  1. Pengertian Musyawarah
  2. Hukum Musyawarah
  3. Kriteria Pengambilan Pendapat Dalam Musyawarah

 

Pengertian Musyawarah

Musyawarah (syurā) menurut makna Bahasa Arab (ma’na lughawī) antara lain :

 

Adapun musyawarah menurut makna syariah, definisinya adalah :

 

اَلشُّوْرَى هِيَ أَخْذُ الرَّأْيِ فِي اْلإسْلاَمِ

 

“Musyawarah  (syura) adalah pengambilan pendapat dalam Islam.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, Juz I, hlm. 245).

 

Penjelasan definisi musyawarah (syura) tersebut adalah sebagai berikut :

 

فَاِنْ اَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗ

 

“Apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya.” (QS Al-Baqarah : 233)

 

 

Dalam QS Ali ‘Imran : 159, jika ayatnya dibaca lengkap, akan jelas bahwa musyawarah (syura) yang diperintahkan oleh Allah kepada Rasulullah SAW adalah terbatas dengan orang-orang Islam saja, bukan dengan manusia secara umum baik muslim maupun  non muslim. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, Juz I, hlm. 245-247).

 

Firman Allah SWT :

 

فَبِمَا رَحۡمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنۡتَ لَهُمۡ‌ۚ وَلَوۡ كُنۡتَ فَظًّا غَلِيۡظَ الۡقَلۡبِ لَانْفَضُّوۡا مِنۡ حَوۡلِكَ‌ ۖ فَاعۡفُ عَنۡهُمۡ وَاسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِى الۡاَمۡرِ‌ۚ فَاِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى اللّٰهِ‌ؕ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الۡمُتَوَكِّلِيۡنَ

 

"Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal." (QS Ali ‘Imran : 159).

 

Menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, firman Allah SWT yang berbunyi :

 

وَشَاوِرۡهُمۡ فِى الۡاَمۡرِ

 

“…dan bermusyawarahlah kamu (Muhammad) dengan mereka dalam urusan itu.” (QS Ali ‘Imran : 159)

 

maksudnya adalah perintah bermusyawarah dengan kaum muslimin saja, bukan dengan kaum yang lain. Ini karena yang dimaksud dengan “mereka” (hum), merujuk pada sifat-sifat tertentu dalam bunyi ayat sebelumnya, yang tidak mungkin ada sifat-sifat itu, kecuali bagi kaum muslimin saja. Sifat-sifat tertentu tersebut terdapat dalam bunyi ayat sebagai berikut :

 

فَاعۡفُ عَنۡهُمۡ وَاسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ

 

“Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka.” (QS Ali ‘Imran : 159).

 

Padahal dalam Al-Qur`an, Allah SWT telah melarang Nabi SAW dan umat Islam untuk memohonkan ampunan bagi orang-orang kafir, sesuai firman Allah SWT dalam QS At-Taubah ayat 113 :

 

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنْ يَّسْتَغْفِرُوْا لِلْمُشْرِكِيْنَ وَلَوْ كَانُوْٓا اُولِيْ قُرْبٰى مِنْۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُمْ اَصْحٰبُ الْجَحِيْمِ

 

“Tidak pantas bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memohonkan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, sekalipun orang-orang itu kaum kerabat(nya), setelah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu penghuni neraka Jahanam.” (QS At-Taubah : 113).

Adapun dalam QS Al-Syura : 38, bunyi ayatnya secara lengkap adalah :

 

وَٱلَّذِينَ ٱسْتَجَابُوا۟ لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ

 

"Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka. Dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS Al-Syura : 38)

 

Ayat tentang musyawarah (syura) tersebut, biasanya hanya dikutip sebagian saja sebagai berikut :

 

وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ

 

“Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.” (QS Al-Syura : 38)

 

Padahal jika ayatnya dibaca secara lengkap, akan jelas maknanya, bahwa yang dimaksud dengan kalimat “urusan mereka”  (Arab : amruhum) adalah urusan di antara kaum muslimin saja. Dan yang dimaksud dengan kalimat “antara mereka” (Arab : baynahum) adalah antara kaum muslimin saja.

 

Makna tersebut menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, akan jelas jika ayat tersebut (QS Al-Syura : 38) dibaca lengkap atau utuh, bahwa sifat-sifat orang yang melakukan syura itu, tidaklah ada, kecuali sifat kaum muslimin saja, yaitu orang-orang yang memenuhi seruan Tuhan mereka dan yang menegakkan sholat, sebagaimana bunyi awal ayat sebagai berikut ini :    

 

وَٱلَّذِينَ ٱسْتَجَابُوا۟ لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ

 

“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat…” (QS Al-Syura : 38).

 

Jadi, jika ayat tersebut dibaca secara utuh, juga akan menunjukkan bahwa musyawarah itu hanyalah dilakukan dengan kaum muslimin saja, bukan dengan kaum non muslim (kafir).

 

 

Hukum Musyawarah

Hukum melakukan musyawarah menurut Syekh Abdul Qadim Zallum adalah mandub (sunnah), tidak wajib. (Abdul Qadim Zallum, Nizhāmul Hukmi fī Al-Islām, hlm. 217-218).

 

Ini sejalan dengan pandangan para ahli tafsir terkemuka yang menyatakan perintah syura dalam Al-Qur`an surat Ali Imran : 159, adalah perintah mandub (sunnah), bukan perintah wajib. Mereka itu misalnya Imam Ath-Thabari (Jāmi’ Al-Bayān, IV/153), Imam Al-Alusi (Rūhul Ma’āni, IV/106-107), Imam Az-Zamakhsyari (Al-Kasysyāf, I/474), Imam Al-Qurthubi (Al-Jāmi’ li Ahkām Al-Qur`ān, IV/249-252), dan Imam Ibnul ‘Arabi (Ahkāmul Qur`ān, I/298).

 

Alasan mengapa musyawarah hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib, karena firman Allah SWT yang memerintah syura, tidak disertai qarīnah jāzim (indikasi yang tegas harus bermusyawarah).

Memang Allah SWT berfirman :

 

وَشاَوِرْهُمْ فِي اْلأَمْرِ

 

“Maka bermusyawarahlah kamu (Muhammad) dengan mereka dalam segala urusan.” (QS Ali ‘Imran : 159).

 

Tetapi Rasulullah SAW seringkali mengambil keputusan tanpa bermusyawarah dengan para shahabat, seperti dalam pengangkatan para wali (gubernur), pengangkatan para qadhi (hakim), para sekretaris (kuttāb), dan para pemimpin sariyah dan pasukan, juga penandatanganan gencatan senjata, dan sebagainya.

Ini menunjukkan syura adalah mandub, bukan wajib. Yang melakukannya akan mendapat pahala, sedang yang meninggalkannya tidak berdosa. (Abdul Qadim Zallum, Nizhāmul Hukmi fī Al-Islām, hlm. 217-218).

 

Kriteria Pengambilan Pendapat Dalam Musyawarah

Dalam musyawarah, kriteria pendapat yang diambil tergantung pada bidang permasalahan yang dimusyawarahkan.  Berikut ini disampaikan rinciannya sebagaimana uraian Abdul Qadim Zallum (1990) dalam Ad-Dīmuqrāthiyah Nizhām Kufr, adalah sebagai berikut :

 

Pertama, dalam masalah penentuan hukum syara’ (at-tasyrī’), kriterianya tidak tergantung pada pendapat mayoritas atau minoritas, melainkan tergantung pada nash-nash syara’ (nash Al-Qur`an dan As-Sunnah). Sebab, yang menjadi Pembuat Hukum (Musyarri’ , The Law Giver) dalam Islam hanyalah Allah SWT, bukan umat atau rakyat.

 

Dalilnya adalah karena Rasulullah SAW pernah mengesampingkan pendapat mayoritas kaum muslimin yang menolak penetapan Perjanjian Hudaibiyah. Padahal pendapat kaum muslimin waktu itu merupakan pendapat mayoritas. Tetapi toh Rasulullah SAW tetap menolak pendapat mereka, dan tetap menyepakati Perjanjian Hudaibiyah, karena Rasululah SAW mendapat wahyu (nash) langsung dari Allah SWT berupa perintah untuk melakukan Perjanjian Hudaibiyah.  Rasulullah SAW bersabda kepada mereka :

 

إِنِّي عَبْدَ اللهِ وَ رَسُوْلَهُ وَ لَنْ أُخَالِفَ أَمْرَهُ

 

“Sesungguhnya aku ini adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Dan sekali-kali aku tidak akan menyalahi perintah-Nya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Kedua, dalam masalah yang berhubungan dengan aspek-aspek profesi dan ide yang membutuhkan keahlian, pemikiran, dan pertimbangan yang mendalam, maka yang dijadikan kriteria adalah ketepatan atau kebenarannya. Bukan berdasarkan suara mayoritas atau minoritas. Jadi masalah yang ada harus dikembalikan kepada para ahlinya yang berkompeten. Merekalah yang dapat memahami permasalahan yang ada dengan tepat.

 

Jadi, masalah-masalah kemiliteran dikembalikan kepada para pakar kemiliteran. Masalah-masalah fiqih dikembalikan kepada para fuqaha dan mujtahidin. Masalah-masalah medis dikembalikan kepada para dokter spesialis. Masalah-masalah teknik dikembalikan kepada para pakar insinyur teknik. Masalah-masalah ide/gagasan dikembalikan kepada para pemikir. Demikianlah seterusnya.

 

Dalil untuk ketentuan ini adalah peristiwa ketika Rasulullah SAW mengikuti pendapat Al-Hubab ibnul Mundzir pada Perang Badar --yang saat itu merupakan pakar dalam hal tempat-tempat strategi-- yang mengusulkan kepada Rasulullah SAW agar meninggalkan tempat yang dipilih Nabi, kalau sekiranya ketentuan tempat itu bukan dari wahyu.

 

Al-Hubab memandang tempat tersebut tidak layak untuk kepentingan pertempuran. Maka Rasulullah SAW mengikuti pendapat Al-Hubab ibnul Mundzir dan berpindah ke suatu tempat yang ditunjukkan oleh Al-Hubab. Jadi Rasulullah SAW telah meninggalkan pendapatnya sendiri dan tidak meminta pertimbangan kepada para shahabat lainnya dalam masalah tersebut.

 

Ketiga, dalam masalah-masalah yang langsung menuju kepada amal/tindakan (bersifat praktis), yang tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan mendalam, maka yang menjadi patokan adalah suara mayoritas, sebab mayoritas orang dapat memahaminya dan dapat memberikan pendapatnya dengan mudah menurut pertimbangan kemaslahatan yang ada.

 

Masalah-masalah seperti ini contohnya, apakah kita akan memilih si A atau si B (sebagai kepala negara atau ketua organisasi misalnya), apakah kita akan keluar kota atau tidak, apakah kita akan menempuh perjalanan pada pagi hari atau malam hari, apakah kita akan naik pesawat terbang, kapal laut, atau kereta api.

 

Masalah-masalah seperti ini dapat dijangkau oleh setiap orang sehingga mereka dapat memberikan pendapatnya. Oleh karena itu, dalam masalah-masalah seperti ini suara mayoritas dapat dijadikan pedoman dan bersifat mengikat.

 

Dalil untuk ketentuan tersebut adalah peristiwa yang terjadi pada Rasulullah SAW ketika Perang Uhud. Rasulullah SAW dan para shahabat senior berpendapat bahwa kaum muslimin tidak perlu keluar dari kota Madinah. Sedang mayoritas shahabat --khususnya para pemudanya-- berpendapat bahwa kaum muslimin hendaknya keluar dari kota Madinah guna menghadapi kaum Quraisy di luar kota Madinah.

 

Jadi pendapat yang ada berkisar di antara dua pilihan, keluar kota Madinah atau tidak. Dan dikarenakan mayoritas shahabat berpendapat untuk keluar kota Madinah, maka Nabi SAW mengikuti pendapat mereka dan mengabaikan pendapat para shahabat senior, serta berangkat menuju Uhud di luar kota Madinah untuk menghadapi pasukan Quraisy.

 

Demikianlah rincian mengenai kriteria pendapat yang diambil dalam musyawarah, yakni tergantung pada bidang permasalahan yang dimusyawarahkan, berdasarkan uraian Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Ad-Dīmuqrāthiyah Nizhām Kufr. Wallahu a’lam.

 

Bandung, 18 Oktober 2024

 

Muhammad Shiddiq Al-Jawi

 

= = =

 

Referensi :

 

https://shiddiqaljawi.com/syura-bukan-demokrasi/

 

 

 

 


Artikel Lainnya





Bagi para pembaca yang ingin menanyakan masalah Agama kepada KH. M. Shiddiq Al Jawi, silakan isi form pertanyaan di bawah ini. KH. M. Shiddiq Al Jawi insya Allah akan berusaha menjawab pertanyaan dari para pembaca melalui email.