IJMA’ ULAMA BAHWA KHALIFAH SAJA YANG BERHAK MENJATUHKAN PIDANA SYARIAH.


Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

 

Tanya :

Ustadz, saya pernah membaca bahwa hanya Khalifah saja yang behak menjatuhkan sanksi-sanksi pidana syariah, seperti hukum cambuk bagi pezina ghayru muḥshan (yang belum menikah), hukum potong tangan bagi pencuri, hukum qishāsh (hukuman mati) bagi pembunuh, dan sebagainya. Mohon dijelaskan di kitab-kitab apa saya bisa menemukan adanya ijma’ ulama tersebut? (Aan Sufyan, Bogor).

 

Jawab :

Benar, memang telah terdapat ijma’ ulama bahwasanya hanya Khalifah dalam negara Khilafah sajalah yang berhak menjatuhkan berbagai sanksi pidana syariah (al-‘uqūbāt al-syar’iyyah). Artinya, adanya ijma’ ulama itu menunjukkan tidak ada perbedaan pendapat (ikhtilāf/ khilāfiyah) di kalangan ulama dalam masalah ini. Jadi, siapa pun yang bukan Khalifah (Imam) dalam negara Khalifah, baik itu individu, kelompok, maupun negara, sama sekali tidak mempunyai hak secara syariah untuk menjatuhkan sanksi-sanksi pidana syariah.

 

Adanya ijma’ ulama tersebut telah disebutkan dalam banyak kitab-kitab karya mereka. Istilah yang dipakai oleh para ulama untuk menunjukkan berbagai sanksi pidana syariah itu biasanya adalah istilah ḥudūd, yaitu sanksi pidana yang asalnya hanya mencakup 8 (delapan) sanksi pidana syariah saja yaitu; (1) sanksi untuk perzinaan (ḥad az-zinā), (2) sanksi untuk sodomi atau anal seks (ḥad al-liwāth),  (3) sanksi untuk menuduh zina (ḥad al-qadzaf), (4) sanksi untuk peminum khamr (ḥad syārib al-khamr), (5) saksi untuk pencurian (ḥad al-sariqah), (6) sanksi untuk pembegal (ḥad quththā’ al-thuruq), (7) sanksi untuk perbuatan makar/memberontak kepada Khalifah (ḥad ahli al-baghyi), dan sanksi untuk orang murtad (ḥad al-murtad). (‘Abdurrahman al-Maliki, Nizhām Al-’Uqūbāt, Beirut : Darul Ummah, 1990, hlm. 26-83).

 

Namun sebenarnya istilah ḥudūd yang digunakan ulama itu, tidak hanya ḥudūd saja secara harfiyah (literally), namun mewakili juga jenis-jenis sanksi pidana syariah lainnya, yaitu jināyāt, ta’zīr, dan mukhālafāt.

 

Jināyāt adalah sanksi pidana syariah untuk tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan fisik di bawah pembunuhan, misalnya sanksi qishāshMukhālafāt adalah sanksi pidana syariah untuk pelanggaran peraturan administrasi (al-qānūn al-idāriy) yang dikeluarkan negara Khilafah, misalnya pelanggaran rambu-rambu lalu lintas, pelanggaran dokumen (misal tak mempunyai KTP/ID Card), dsb. Sedangkan ta’zīr adalah sanksi pidana syariah untuk pelanggaran syariah yang tidak disebutkan secara khusus jenis dan kadar sanksinya dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, misalnya sanksi-sanksi untuk perbuatan meninggalkan sholat, meninggalkan puasa Ramadhan tanpa udzur syar’i, melakukan transaksi riba, dsb. (‘Abdurrahman al-Maliki, Nizhām Al-’Uqūbāt, Beirut : Darul Ummah, 1990, hlm. 17-22).

 

Maka dari itu, ketika ulama menyebutkan istilah ḥudūd dalam beberapa kutipan yang akan kami sebut di bawah ini, maka artinya istilah itu juga mewakili jenis-jenis sanksi pidana syariah lainnya, yaitu jināyāt, ta’zīr, dan mukhālafāt, bukan terbatas pada ḥudūd saja.

 

Di antara kutipan pendapat-pendapat ulama yang menjelaskan bahwa hanya Khalifah dalam negara Khilafah saja yang berhak menegakkan ḥudūd, adalah sebagai berikut :

 

Pertama, dalam kitab Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, disebutkan bahwa :

 

يَتَّفِقُ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ الَّذِيْ يُقِيْمُ الْحَدَّ هُوَ اْلإِمَامُ أَوْ نَائِبُهُ.  الموسوعة الفقهية الكويتية ج 5 ص 280

 

“Para fuqoha` [ahli fiqih] telah sepakat bahwa yang berhak menegakkan hudūd, hanyalah Imam (Khalifah) saja, atau wakilnya.” (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Juz V, hlm. 280).

 

Di bagian lain masih dari kitab yang sama, yaitu Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, disebutkan bahwa :

 

اِتَّفَقَ الفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّهُ لَا يُقِيْمُ الْحَدَّ إِلَّا اْلإِمَامُ أَوْ نائِبُهُ. الموسوعة الفقهية الكويتية ج 17 ص 144

 

“Para fuqoha` [ahli fiqih] telah sepakat bahwa tidak ada yang berhak menegakkan ḥudūd, kecuali Imam (Khalifah) saja, atau wakilnya.” (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Juz XVII, hlm. 144).

 

Kedua, dalam kitab-kitab ulama mazhab Hanafi, juga dinyatakan hal yang sama, yaitu penegakan ḥudūd  itu hanyalah hak Imam (Khalifah) saja, bukan yang lain. Misalnya kitab Badā`i’ al-Shanā’i’ fī Tartīb al-Syarā`i’, karya Imam Al-Kasani, disebutkan bahwa :

 

وقال الإمام الكاساني الحنفي وَأَمَّا شَرَائِطُ جَوَازِ إِقامَتِهَا – يَعْنَيْ اْلحُدُوْدَ – فَمِنْهَا مَا يَعُمُّ الحُدُوْدَ كُلَّهَا ، وَمِنْهَا مَا يَخُصُّ اَلبَعْضَ دُوْنَ اْلبَعْضِ ، أَمَّا اَلَّذِي يَعُمُّ الحُدُوْدَ كُلَّهَا فَهُوَ اْلإِمَامَةُ ، وَهُوَ أَنْ يَكُوْنَ الْمُقِيْمُ لِلْحَدِّ هُوَ اْلِإِمَامُ أَوْ مَنْ وَلَّاهُ اْلإِمَامُ. بدائع الصنائع في ترتيب الشرائع للإمام الكاساني. ج 9 ص 204.

 

Imam Al-Kasani yang bermazhab Hanafi berkata,”Adapun syarat-syarat untuk boleh menegakkan ḥudūd, di antaranya ada syarat umum untuk semua ḥudūd, dan ada syarat khusus untuk sebagian ḥudūd. Adapun syarat yang umum untuk semua ḥudūd, adalah adanya Imamah (Khilafah), yaitu maksudnya yang berhak menegakkan ḥudūd, hanyalah Imam (Khalifah) saja, atau orang yang telah ditunjuk oleh Imam untuk mewakili Imam. (Imam Al-Kasani, Badā`i’ al-Shanā’i’ fī Tartīb al-Syarā`i’, Juz IX, hlm. 204).

 

Dalam kitab Al-Fatāwā Al-Hindiyah, satu kitab yang mu’tamad (menjadi pegangan) dalam mazhab Hanafi, disebutkan bahwa :

 

وَرُكْنُهُ ( أَيْ الحَدُّ ) إِقامَةُ الإِمامِ وَ نائِبِهِ فِي اْلإِقامَةِ. الفتاوى الهندية ج 2 ص 143

 

“Satu rukun yang wajib ada dalam pelaksanaan ḥudūd, adalah ḥudūd itu hanya dilaksanakan oleh Imam (Khalifah) atau wakilnya dalam pelaksanaannya.” (Al-Fatāwā Al-Hindiyah, Juz II, hlm. 143).

 

Ketiga, dalam dalam kitab-kitab ulama mazhab Maliki, juga disebutkan hal yang sama, yaitu hanya Imam (Khalifah) saja yang berhak menegakkan ḥudūd. Misalkan dalam kitab Bidāyatul Mujtahid, karya Ibnu Rusyd, disebutkan bahwa :

 

وَأَمَّا مَنْ يُقِيْمُ هَذَا الْحَدَّ ( أَيْ شُرْبَ المُسْكِرِ ) فَاتَّفَقُوَا عَلَى أَنَّ اْلإِمَامَ يُقيمُهُ ، وَكَذَلِكَ اْلأَمْرُ فِي سَائِرِ اْلحُدُوْدِ. بداية المجتهد لابن الرشد ج 2 ص 365.

 

“Adapun siapa yang menegakkan ḥudūd ini (yaitu sanksi untuk meminum khamr), maka para ulama sepakat bahwa Imam (Khalifah) sajalah yang menegakkan ḥudūd itu, demikian pula untuk semua jenis ḥudūd yang lainnya.” (Ibnu Rusyd, Bidāyatul Mujtahid, Juz II, hlm. 365).

 

Imam Al-Qurthubi, seorang ulama ahli tafsir bermazhab Maliki, juga menyebutkan hal yang sama, sebagaimana perkataannya dalam kitabnya Tafsīr Al-Qurthubiy (Al-Jāmi’ li Aḥkām Al-Qur`ān) ketika beliau menafsirkan QS An-Nur ayat 2 tentang hukuman cambuk bagi pezina yang belum menikah (ghayru muhshan) :

 

لَا خِلاَفَ أَنَّ المُخاَطَبَ بِهَذَا الأَمْرِ – أَيْ الأَمْرَ بِحَدِّ الزِّنَا – اَلْإِمَامُ وَمَن يَنُوْبُ مَنَابَهُ. الجامع لأحكام القرآن  للإمام القرطبي ج 12 ص 161.

 

“Tidak ada khilāfiyah (perbedaan pendapat di kalangan ulama) bahwa pihak yang diseru dengan perintah ini (yaitu perintah untuk menjatuhkan sanksi cambuk untuk pezina yang belum menikah/ghayru muhshan), adalah Imam (Khalifah) atau orang yang mewakili kedudukan Imam itu.” (Imam Al-Qurthubi, Tafsīr Al-Qurthubiy/Al-Jāmi’ li Aḥkām Al-Qur`ān, Juz XII, hlm. 161).

 

Keempat, dalam kitab-kitab mazhab Syafi’i juga akan kita temukan hal yang sama, yaitu Imam (Khalifah) saja yang berhak menegakkan ḥudūd. Misalkan dalam  kitab Al-Umm karya Imam Syafi’i, raḥimahullāh, sebagaimana perkataan Imam Syafi’i :

 

لاَ يُقِيْمُ الْحُدُوْدُ عَلىَ اْلأَحْرَارِ إِلاَّ اْلإِمَامُ وَمَنْ فَوَّضَ إِلَيْهِ اْلإِمَامُ. الأم للإمام الشافعي ج 6 ص 154.

 

”Tidak ada yang berhak menegakkan ḥudūd atas orang-orang merdeka (bukan budak) kecuali Imam (Khalifah) saja, dan orang yang telah ditunjuk oleh Imam (Khalifah) untuk mewakili Imam dalam urusan tersebut.” (Imam Syafi’i, Al-Umm, Juz VI, hlm. 154).

 

Kelima, dalam kitab-kitab mazhab Hambali, juga akan kita temukan hal yang sama, bahwa hanya Khalifah saja yang berhak menegakkan ḥudūd, bukan yang lain. Dalam kitab Ushūl Al-Sunnah li Imām Ahlis Sunnah Ahmad bin Hanbal bi-Riwāyat ‘Abdūs bin Mālik al-‘Aththār, juga dalam kitab Syarah Ushūl I’tiqād Ahlis Sunnah karya Imam Al-Lālikā`iy, diriwayatkan perkataan Imam Ahmad bin Hanbal, raḥimahullāh, bahwa :

 

قال الإمام أحمد بن حنبل رحمه الله: وَقِسْمَةُ الفَيْءِ ، وَإِقامَةُ الحُدودِ ، إِلَى الأَئِمَّةِ مَاضٍ ، لَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يَطَعْنَ عَلَيْهِمْ ، وَلَا يُنازِعَهُمْ. أصول السنة لأحمد بن حنبل رواية عبدوس بن مالك العطار (30) وينظر: عند اللالكائي في شرح أصول اعتقاد أهل السنة  ج 1 ص 160.

 

Telah berkata Imam Ahmad, raḥimahullāh,“Pembagian fai` (harta rampasan perang), dan penegakan ḥudūd, itu hanyalah hak para Imam (Khalifah), demikianlah yang telah berlangsung, tidak boleh ada seorang pun yang mencela atau menyaingi kekuasaan mereka.” (Ushūl Al-Sunnah li Imām Ahlis Sunnah Ahmad bin Hanbal bi-Riwāyat ‘Abdūs bin Mālik al-‘Aththār, 30; Imam Al-Lālikā`iy, Syarah Ushūl I’tiqād Ahlis Sunnah, Juz I, hlm. 160).

 

Imam Ibnu Qudamah, seorang ulama ahli fiqih dalam mazhab Hambali, dalam kitabnya Al-Kāfīy, berkata :

 

لَا يَجُوْزُ لِأَحَدِ إِقامَةُ اْلحَدِّ ، إِلَّا لِلْإِمَامِ أَوْ نَائِبِهِ لِأَنَّهُ حَقٌّ لِلّهِ تَعَالَى ، وَيَفْتَقِرُ إِلَى الِاجْتِهادِ ، وَلَا يُؤْمِنُ فِي اسْتيفائِهِ الحَيْفَ ، فَوَجَبَ تَفْوِيْضُهُ إِلَى نائِبِ اللَّهِ تَعَالَى فِيْ خَلْقِهِ ، وَلِأَنَّ النَّبيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ كَانَ يُقِيْمُ اْلحَدَّ فِي حَياتِهِ ، ثُمَّ خُلَفَاؤُهُ بَعْدَهُ. الكافي لإبن قدامة  ج 3 ص 234.

 

“Tidak boleh seorangpun menegakkan ḥudūd, kecuali Imam (Khalifah), atau wakilnya, karena hal itu adalah hak Allah Ta’ala, dan sesuatu yang memerlukan ijtihad, serta tidak aman dalam pelaksanaannya dari penyimpangan. Maka wajib hukumnya menyerahkan hal itu kepada wakil dari Allah Ta’ala di antara makhluk-Nya [yaitu kepada Imam/Khalifah], dan karena dulu hanya Nabi SAW sajalah yang senantiasa menegakkan ḥudūd sepanjang hidupnya, kemudian dilanjutkan oleh para khalifah setelah beliau.” (Imam Ibnu Qudamah, Al-Kāfīy, Juz III, hlm. 234).

 

Dari berbagai kutipan di atas, kiranya sudah mencukupi bahwa sungguh telah terdapat ijma’ ulama bahwa hanya Imam (Khalifah) dalam negara Khilafah sajalah yang berhak menjatuhkan berbagai sanksi pidana syariah (al-‘uqūbāt al-syar’iyyah). Dengan kata lain, tidak ada perbedaan pendapat (ikhtilāf/ khilāfiyah) di kalangan ulama dalam masalah ini.

 

Maka dari itu, tidak boleh secara syar’i siapa pun juga selain Khalifah dalam negara Khilafah, baik dia individu/perseorangan (al-afrād), maupun kelompok-kelompok (al-jamā’at), seperti kelompok jihadis, untuk menegakkan ḥudūd yang terdapat dalam Syariah Islam. Misalkan menjatuhkan hukuman rajam kepada seorang prajurit dari kelompok jihadis yang terbukti berzina. Tidak boleh pula suatu pemerintahan atau kekuasaan yang dipegang oleh kaum muslimin tetapi tidak memenuhi syarat-syarat sebagai Khalifah dan negara Khilafah, seperti raja (al-malik) dalam sistem kerajaan (al-mulk/al-mamlakah), atau presiden (al-ra`īs) dalam sistem pemerintahan republik (al-jumhūriyyah), yang berhak menegakkan ḥudūd yang terdapat dalam Syariah Islam. (Lihat : https://pal-tahrir.info/qa/6622جواب-سؤال-هل-يجوز-شرعاً-إقامة-حدٍ-من-حدود-الله-في-الأرض-من-قِبَل-مجموعات-جهادية-أو-أفراد؟.html).

 

Dalam kondisi saat ini, ketika Khalifah tidak ada karena Khilafah yang terakhir sudah runtuh di Turki pada tanggal 3 Maret 1924 yang lalu, maka yang wajib dilakukan oleh kaum muslimin bukanlah memaksakan diri untuk menegakkan ḥudūd, yang tidak berhak mereka lakukan, melainkan berjuang untuk menegakkan kembali Khilafah di muka bumi, yang nanti akan akan menegakkan kembali ḥudūd di muka bumi. Syekh ‘Atha` Abu Al-Rasytah Ibnu Khalil, seorang ulama Palestina, menegaskan bagaimana menyikapi pelaksanaan ḥudūd yang tidak memungkinkan ketika Khilafah tidak ada seperti kondisi saat ini, beliau menegaskan :

 

وَفِي حَالَةِ عَدَمِ وُجودِ السُّلْطانِ اَلَّذِي يَحْكُمُ بِشَرْعِ اللَّهِ فَإِنَّ الْوَاجِبَ عَلَى المُسْلِمِينَ هُوَ الْعَمَلُ الْجَادُّ الْمُجِدُّ لِإِيْجَادِ السُّلْطانِ اَلَّذِيْ يَحْكُمُ بِالْإِسْلَامِ لِأَنَّهُ فَرْضٌ لِلنُّصُوْصِ الْكَثِيْرَةِ الْوَارِدَةِ فِي ذَلِكَ مِنَ الْكِتابِ وَالسُّنَّةِ وَإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ

 

 “Dalam keadaan tiadanya kekuasaan yang menerapkan Syariah Islam, maka yang menjadi kewajiban kaum muslimin adalah berjuang secara bersungguh-sungguh untuk mewujudkan kekuasaan yang akan menerapkan Islam, karena tegaknya kekuasaan Islam ini adalah fardhu (wajib) hukumnya berdasarkan nash-nash syariah yang banyak mengenai kewajiban ini yang terdapat dalam Al-Qur`an, As-Sunnah, dan Ijma’ Shahabat.” (Lihat : https://pal-tahrir.info/qa/6622جواب-سؤال-هل-يجوز-شرعاً-إقامة-حدٍ-من-حدود-الله-في-الأرض-من-قِبَل-مجموعات-جهادية-أو-أفراد؟.html).

 

Demikianlah jawaban kami, semoga mencukupi, wallāhu a’lam.


Artikel Lainnya





Bagi para pembaca yang ingin menanyakan masalah Agama kepada KH. M. Shiddiq Al Jawi, silakan isi form pertanyaan di bawah ini. KH. M. Shiddiq Al Jawi insya Allah akan berusaha menjawab pertanyaan dari para pembaca melalui email.