Diasuh Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi Tanya : Ustadz, bolehkah seorang muslimah memakai jilbab seperti potongan? Apakah itu sudah termasuk jilbab? Jawab : Sebelumnya kami perjelas dulu fakta (manath) yang kami pahami dari pertanyaan di atas. Jadi yang ditanyakan adalah mengenai jilbab syar’i, yaitu bukan kerudung (khimaar), melainkan busana wanita yang longgar yang dipakai di atas baju rumahan (seperti daster dll) yang menutupi seluruh tubuh yang terulur hingga kedua kaki. Hanya saja jilbab tersebut tak terbuat dari satu kain terusan, melainkan dari dua kain yang dijahit/disambung menjadi satu. Misal bagian atas warna putih, sedang bagian pinggang ke bawah berwarna abu-abu (seperti seragam siswi SMU). Inilah fakta (manath) yang kami pahami. Bolehkah memakai jilbab seperti potongan yang seperti itu? Jawaban kami dua poin sbb; Pertama, boleh hukumnya jilbab seperti potongan tersebut dikenakan oleh muslimah karena sudah termasuk jilbab syar’i. Kedua, sebaiknya seorang muslimah tak mengenakan jilbab seperti potongan itu karena ada unsur syubhat, kecuali dia dapat memberikan klarifikasi untuk menghilangkan syubhat tersebut. Mengenai poin pertama, yakni jilbab seperti potongan itu boleh dipakai, dikarenakan jilbab seperti potongan itu sudah masuk definisi jilbab syar’i yang diwajibkan Allah SWT dalam Al Ahzab [33] : 59. Tafsiran “jilbab” dalam ayat tersebut menurut Syekh Wahbah Zuhaili adalah baju panjang (al mula`ah) yang dipakai perempuan seperti gamis, atau baju yang menutup seluruh tubuh. (Wahbah Zuhaili, At Tafsir Al Munir fi Al ‘Aqidah wa Al Syari’ah wa Al Manhaj, 22/114). Para ulama juga menafsirkan istilah “jilbab” dalam makna yang serupa. Dalam kamus Al Mu’jamul Wasith disebutkan jilbab adalah baju yang menutupi seluruh tubuh (al tsaub al musytamil ‘ala al jasadi kullihi). Jilbab juga diartikan apa-apa yang dipakai wanita di atas baju-bajunya seperti milhafah (mantel/baju kurung) (maa yulbasu fauqa tsiyaabiha ka al milhafah). (Al Mu’jamul Wasith, Juz I hlm. 126). Dengan demikan, jilbab seperti potongan yang ditanyakan hukumnya boleh, berdasarkan kemutlakan ayat jilbab di atas, karena tidak terdapat dalil taqyiid dari Al Qur`an maupun As Sunnah yang mensyaratkan jilbab itu wajib terbuat dari satu potong kain saja. (Lihat : Taqiyuddin An Nabhani, Al Nizham Al Itima’i fi Al Islam, hlm. 46; Nashiruddin Al Albani, Jilbab Al Mar`ah Al Muslimah fi Al Kitab wa Al Sunnah, Damaskus : Darus Salam, 2002, hlm. 37; Abu Thalhah M. Yunus Abdus Sattar, Libas Ar Rasul wa Al Shahabat wa Al Shahabiyyat, hlm. 91-98). Kaidah ushul fiqih dalam masalah ini menetapkan : المطلق يجري على إطلاقه ما لم يرد دليل يدل على التقييد “Al muthlaqu yajriy ‘alaa ithlaaqihi maa lam yarid daliilun yadullu ‘ala at taqyiid. (dalil yang mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak terdapat dalil yang menunjukkan taqyiid (penetapan batasan/syarat). (Wahbah Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al Islami, Juz 1 hlm. 208). Adapun poin kedua, kami katakan sebaiknya seorang muslimah tidak mengenakan jilbab seperti potongan itu, karena terdapat unsur syubhat, yaitu adanya isytibah (kesamaran) bagi orang yang melihatnya, karena seakan-akan jilbab tersebut tidak sesuai syariah. Yaitu jilbab itu akan nampak sebagai dua potong baju terpisah, bukan satu potong sebagai satu kesatuan. Maka bisa jadi orang akan menduga baju atas (gamis) yang dipakai tidak terulur sampai bawah (kaki) sebagaimana diwajibkan syariah, tapi hanya terulur sampai pinggang. Padahal hakikatnya tidak demikian. Dalam kondisi seperti ini, sebaiknya jilbab potongan seperti itu tidak dipakai kecuali pemakainya dapat memberikan klarifikasi untuk menghilangkan syubhat tersebut. Dalilnya hadits shahih bahwa Shafiyah binti Huyyai RA salah seorang istri Nabi SAW pernah mengunjungi Nabi SAW yang sedang i’tikaf di malam hari pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Ketika keduanya hendak keluar dan sampai di pintu masjid, ada dua orang laki-laki Anshar yang melihat mereka. Maka Nabi SAW berkata kepada mereka : إنما هي صفية بنت حيي ”Wanita ini tidak lain adalah Shafiyyah binti Huyyai [istri saya sendiri].” (HR Bukhari & Muslim). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Nizham Al Itima’i fi Al Islam, hlm. 104; Imam Nawawi, Al Adzkar An Nawawiyah, hlm. 276). Wallahu a’lam.
Bagi para pembaca yang ingin menanyakan masalah Agama kepada KH. M. Shiddiq Al Jawi, silakan isi form pertanyaan di bawah ini. KH. M. Shiddiq Al Jawi insya Allah akan berusaha menjawab pertanyaan dari para pembaca melalui email.