Diasuh Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi Tanya : Ustadz, bolehkah kita menjanjikan hadiah untuk anak kita yang hapal Quran. Misalnya, kita janjikan hadiah kepada anak-anak kita yang hafal Juz Amma? (Titin, Semarang). Ustadz, sebuah masjid mempunyai program memberikan hadiah undian kepada jamaah yang sholat Shubuh berjamaah selama 40 hari tanpa putus. Tiap jamaah yang memenuhi kriteria tersebut akan diberi 1 kupon, lalu diundi, dan pemenangnya akan mendapat berbagai macam hadiah, misal kulkas, sepeda, dan TV. Yang seperti ini boleh atau tidak ya? (Siti Matul, Sleman). Jawab : Dalam kajian fiqih kontemporer, hadiah yang ditanyakan di atas disebut dengan istilah al ja`izah ‘ala fi’li at tha’at (hadiah atas ketaatan), yang didefinisikan sebagai hadiah yang diberikan kepada orang-orang tertentu dengan syarat mereka harus melakukan amal saleh tertentu atau meninggalkan kemaksiatan tertentu. Contohnya, seorang ayah berkata kepada anak-anaknya,”Barangsiapa yang melakukan sholat lima waktu, maka akan mendapat hadiah dari ayah.” Atau,”Barangsiapa yang tidak berbohong dalam seminggu ini, maka akan mendapat hadiah dari ayah.” Tujuan hadiah tersebut adalah mendorong mereka untuk melaksanakan perintah Allah SWT atau untuk menjauhi larangan Allah SWT. (Basim Ahmad Hasan Muhammad ‘Amir, Al Jawa`iz Ahkamuha Al Fiqhiyyah wa Tathbiqatuha Al Mu’ashirah, hlm 61). Bolehkah memberikan hadiah semacam ini? Hukumnya boleh (ja`iz) dan tak ada larangan (mani’) secara syariah. Dalil syar’i yang membolehkan hadiah tersebut ada 2 (dua), yaitu : Pertama, dalil-dalil umum yang membolehkan ji’alah, yaitu janji untuk memberikan hadiah atas suatu aktivitas tertentu yang diminta oleh pemberi hadiah. Kedua, dalil-dalil khusus yang membolehkan memberikan hadiah untuk aktivitas-aktivitas ibadah atau ketaatan. (Basim Ahmad Hasan Muhammad ‘Amir, ibid., hlm 62). Adapun dalil yang membolehkan ji’alah, antara lain hadits Abu Sa’id Al Khudri RA, bahwa sebagian sahabat Nabi SAW pernah melakukan ruqyah dengan membaca surat Al Fatihah kepada seorang pemimpin kaum yang digigit ular, dengan mendapat upah beberapa potong daging kambing. (HR Bukhari, no 5404, Muslim no 2201). Hadits ini membolehkan untuk mengambil hadiah atas suatu ibadah, yaitu melakukan ruqyah. Adapun dalil-dalil yang membolehkan memberikan atau mengambil hadiah untuk aktivitas-aktivitas ibadah dan ketaatan, antara lain : (1) Nabi SAW pernah mengutus para amil zakat untuk memungut zakat dan memberikan upah kepada mereka. Karena itulah salah satu anak paman Nabi SAW berkata kepada beliau,"Hendaklah Anda mengutus kami untuk mengambil zakat, lalu kami menunaikan tugas kami untuk Anda sebagaimana yang dilakukan orang lain, dan kami pun memperoleh upah sebagaimana yang diperoleh orang lain." (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, V/691). Hadits ini membolehkan upah tertentu bagi amil zakat yang melakukan ketaatan berupa tugas mengambil zakat. (2) Nabi SAW pernah bersabda,”Barang siapa yang membunuh seorang musuh [dalam peperangan] maka dia berhak mendapat salab-nya.” (Arab : man qatala rajulan falahu salabuhu) (HR Ahmad III/123; Abu Dawud, no 2717). Salab adalah harta benda yang melekat pada musuh kafir yang terbunuh, seperti bajunya, senjatanya, kudanya dsb. (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 1577). Hadits ini membolehkan jihad fi sabilillah --sebagai ibadah yang paling utama-- dengan mendapat imbalan berupa harta yang melekat pada musuh kafir yang terbunuh. Dalil-dalil di atas menunjukkan bolehnya memberikan atau mengambil hadiah sebagai imbalan atas ibadah atau ketaatan yang telah dilakukan. (Basim Ahmad Hasan Muhammad ‘Amir, ibid., hlm. 66). Jadi, hadiah bagi anak yang hapal Juz Amma, atau hadiah bagi jamaah yang sholat Shubuh berjamaah, hukumnya boleh dan tidak mengapa. Wallahu a’lam.
Bagi para pembaca yang ingin menanyakan masalah Agama kepada KH. M. Shiddiq Al Jawi, silakan isi form pertanyaan di bawah ini. KH. M. Shiddiq Al Jawi insya Allah akan berusaha menjawab pertanyaan dari para pembaca melalui email.