KRITERIA ULIL AMRI YANG WAJIB DITAATI


KRITERIA ULIL AMRI YANG WAJIB DITAATI

Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi

Ayat Ulil Amri

Terdapat ayat yang memerintahkan umat Islam untuk mentaati Ulil Amri, yaitu firman Allah SWT :

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An Nisa` : 59).

 

Ayat tersebut jelas menunjukkan kewajiban mentaati Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara umat Islam. Namun kemudian, ada yang menafsirkan ketaatan kepada penguasa dalam ayat tersebut bersifat mutlak dan umum untuk setiap pemegang kekuasaan (penguasa), tidak dilihat lagi apakah Ulil Amri itu Khalifah dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah) ataukah penguasa dalam sistem pemerintahan sekular, seperti presiden dalam sistem republik, atau raja dalam sistem kerajaan (monarki). (Muhammad bin Abdullah Al-Mas’ari, Thâ’at Ulil Amri Hudûduhâ wa Quyûduhâ, hlm. 8-9).

 

Padahal pemahaman yang shahih terhadap ayat tersebut, bahwa Ulil Amri yang dimaksud bukanlah sembarang penguasa, melainkan penguasa dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), yaitu Imam (Khalifah) dan para wakilnya (al-imâm wa nuwâbuhu). (Muhammad bin Abdullah Al-Mas’ari, Thâ’at Ulil Amri Hudûduhâ wa Quyûduhâ, hlm. 17).

 

Yang dimaksud para wakilnya, disebut juga para penguasa (al-hukkâm), yaitu para pemegang kekuasaan di bawah Khalifah, seperti gubernur (al-wâli), para ‘âmil (setingkat bupati/walikota), mu’ âwin tafwîdh (pembantu khalifah bidang kekuasaan), dan lain-lain. (Abdul Qadim Zallum, Nizhâm Al-Hukm fi Al-Islâm, hlm. 250).

 

Dan ketaatan kepada Imam (Khalifah) dan para wakilnya (al-imâm wa nuwâbuhu) tersebut juga terbatas pada perkara yang ma’ruf (yang dibenarkan syariah Islam), tidak ada ketaatan pada segala perkara yang mungkar atau maksiat. (Muhammad bin Abdullah Al-Mas’ari, Thâ’at Ulil Amri Hudûduhâ wa Quyûduhâ, hlm. 17)

Ikhtilaf Ulama Seputar Makna Ulil Amri

Para ulama dan mufassirin berbeda pendapat menafsirkan apa yang dimaksud Ulil Amri dalam ayat tersebut, menjadi 5 (lima) pendapat, yaitu :

 

Pertama, Ulil Amri adalah para pemimpin (al-umarâ`). Ini pendapat Abu Hurairah dan Ibnu Abbas RA. Ini pendapat yang dirajihkan oleh Imam Thabari dan merupakan pendapat jumhur ulama salaf dan khalaf, sebagaimana penjelasan Imam Nawawi.

 

Kedua, Ulil Amri adalah para ‘ulama. Ini pendapat Jabir bin Abdillah RA, Al-Hasan Al-Bashri, An-Nakha’i, dll.

 

Ketiga, Ulil Amri adalah para shahabat Nabi SAW. Ini pendapat Mujahid (ulama tabi’in).

 

Keempat, Ulil Amri adalah pemimpin dan ulama, demikian pendapat Imam Ibnu Katsir, Imam Ibnu ‘Arabi, Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, Imam Syaukani, dan Syekh Abdurrahman bin As-Sa’di.

 

Kelima, Ulil Amri adalah istilah yang lebih umum pemimpin dan ulama (al-umarâ` wa al-’ulamâ`), yaitu setiap pemimpin dan tokoh yang diikuti, atau yang disebut dengan istilah ahlul halli wal ’aqdi. (Muhammad bin Abdullah Al-Mas’ari, Thâ’at Ulil Amri Hudûduhâ wa Quyûduhâ, hlm. 14-15).

 

Pendapat yang râjih (lebih kuat) menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, Ulil Amri dalam ayat QS An-Nisa` : 59 adalah penguasa (al-hâkim) dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), baik Khalifah sebagai pemimpin tertingginya, maupun aparat-aparat kekuasaan (al-hukkâm) di bawah Khalifah, seperti para gubernur (al-wâli), Qâdhi Qudhât (pemimpin para hakim), Qâdhi Mazhâlim, para mu’âwin tafwidh (pembantu Khalifah dalam urusan kekuasaan), dan sebagainya. (Abdul Qadim Zallum, Nizhâm Al-Hukm fi Al-Islâm, hlm. 247).

 

Pendapat Imam Taqiyuddin An-Nabhani ini sejalan dengan pendapat jumhur ulama salaf dan khalaf yang mengartikan Ulil Amri sebagai al-umarâ, yaitu para pemimpin (dalam sistem pemerintahan Islam).

 

Tiga Kriteria Ulil Amri

Ulil Amri yang wajib ditaati dalam ayat QS An-Nisa` : 59 adalah penguasa (al-hâkim) dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), baik Khalifah sebagai pemimpin tertingginya, maupun aparat-aparat kekuasaan lainnya (al-hukkâm) di bawah Khalifah.

 

Terdapat 3 (tiga) kriteria (syarat) agar seseorang dapat disebut sebagai Ulil Amri, yaitu :

 

Pertama, orang tersebut telah dibaiat oleh umat Islam dengan baiat yang sah secara syar’i.

 

Kedua, orang tersebut memenuhi syarat-syarat bai’at in’iqad sebagai Khalifah.

 

Ketiga, orang tersebut menerapkan Syariah Islam secara kaffah (menyeluruh) dalam segala bidang kehidupan. (Syekh Abu Nizar Asy-Syami, Fashlul Kalâm fi Masyrû’iyyat al-Hukkâm) (http://www.al-waie.org/archives/article/13778).

 

Penjelasan dalil-dalil untuk tiga syarat tersebut adalah sbb :

 

Pertama, orang tersebut telah dibaiat oleh umat Islam dengan baiat yang sah secara syar’i. Dalilnya adalah hadits-hadits yang menjelaskan tentang baiat, yaitu kontrak politik antara umat Islam dan Imam (Khalifah), yang berkonsekuensi adanya kewajiban taat dari rakyat kepada Imam (Khalifah) yang dibaiat itu, misalnya sabda Rasulullah SAW :

 

مَن بايَعَ إمامًا فأعطاهُ صَفقةَ يَدِهِ وثَمَرةَ قَلبِه، فليُطِعْه ما استَطاعَ، فإنْ جاءَ آخَرُ يُنازِعُه فاضرِبوا عُنُقَ الآخَرِ

“Barangsiapa yang  membaiat seorang Imam (Khalifah) lalu memberikan genggaman tangannya kepadanya, dan memberikan buah hatinya kepadanya, maka wajiblah dia mentaati Imam itu sekuat kemampuan dia. Kemudian jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaan Imam itu, maka penggalah orang tersebut.” (HR Muslim no. 1844).

Kedua, orang tersebut memenuhi syarat-syarat bai’at in’iqad sebagai Khalifah. Baiat ada dua, pertama baiat in’iqad (baiat khashash), yaitu baiat untuk mengangkat seseorang untuk menjadi Khalifah. Kedua, baiat taat (baiat ‘aammah), yaitu baiat dari umat Islam secara umum sebagai janji setia untuk mentaati Khalifah (Imam) yang sudah dibaiat.

 

Syarat-syarat baiat in’iqad ada 7 (tujuh), yaitu :

(1) Muslim,

(2) Laki-Laki,

(3) Baligh (Dewasa),

(4) Aqil (Berakal),

(5) Merdeka (Bukan Budak),

(6) Adil (Bukan Fasik),

(7) Mampu. (rincian dalil-dalil untuk syarat-syarat ini lihat Abdul Qadim Zallum, Nizhâmul Hukm fi Al-Islâm, hlm. 50-53; Ajhizah Daulat Al-Khilâfah, hlm. 22-27).

 

Ketiga, orang tersebut menerapkan Syariah Islam secara kaffah (menyeluruh) dalam segala bidang kehidupan. Dalilnya adalah ayat-ayat yang memerintahkan para penguasa (al-hukkâm) untuk menerapkan Syariah Islam secara menyeluruh (kaffah) dalam segala aspek kehidupan, tidak hanya Syariah Islam dalam bidang ibadah (rukun Islam) saja, misalnya firman Allah SWT

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةً ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

 

“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan (kaffah), dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah syetan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah : 208). Wallahu a’lam.


Artikel Lainnya





Bagi para pembaca yang ingin menanyakan masalah Agama kepada KH. M. Shiddiq Al Jawi, silakan isi form pertanyaan di bawah ini. KH. M. Shiddiq Al Jawi insya Allah akan berusaha menjawab pertanyaan dari para pembaca melalui email.