PENYALAHGUNAAN KAIDAH FIQIH  UNTUK MELEGITIMASI PINDAH IKN (IBU KOTA NEGARA)


 

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

 

Di media sosial ada yang melegitimasi kebijakan pemerintah pindah IKN (Ibu Kota Negara) dengan dua kaidah fiqih (qawâ’id fiqhiyyah), yaitu :

 

Kaidah Pertama, kaidah fiqih yang berbunyi :

 

تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ

 

“Kebijakan Imam terhadap rakyat bergantung pada kemaslahatan.”

 

Berdasar kaidah ini, ketika Presiden dan DPR memutuskan pindah IKN, maka kebijakan ini katanya patut didukung karena pasti sudah dipertimbangkan masak-masak aspek kemaslahatannya.

 

Kaidah Kedua, kaidah fiqih yang berbunyi :

 

أَمْرُ الْإِمَامِ يَرْفَعُ الْخِلَافَ

 

“Perintah Imam menghilangkan perbedaan pendapat.”

 

Berdasar dua kaidah fiqih ini, ketika Presiden dan DPR memutuskan pindah IKN, maka katanya rakyat perlu mendukungnya. Hal itu karena konon kebijakan yang sudah diputuskan dalam bentuk UU ini, seharusnya menghilangkan pro kontra di antara masyarakat seputar pindahnya IKN.

 

Penggunaan dua kaidah fiqih (qawa’id fiqhiyyah) tersebut untuk melegitimasi pindah IKN tersebut, sungguh tidak dapat diterima, dengan 3 (tiga) alasan sebagai berikut :

 

Alasan Pertama, kedua fiqih tersebut hanya dapat diberlakukan dalam konteks kebijakan seorang pemimpin dalam arti Imam atau Khalifah, yakni kepala negara dalam negara Khilafah, tidak dapat diberlakukan secara umum untuk semua pemimpin sehingga mencakup Presiden dalam sistem sekuler (republik).

 

Mengapa kata “Imam” dalam kedua kaidah fiqih (qawa’id fiqhiyyah) hanya berarti Imam atau Khalifah dalam arti kepala negara dalam negara Khilafah? Sebab kata “Imam” tersebut tidak dapat dimaknai menurut makna lughawi (makna etimologis), yaitu setiap pemimpin, melainkan wajib dimaknai secara makna syar’i (makna terminologis) yang khusus dalam hukum Islam, yang kemungkinannya:

 

Pertama,  imam dalam sholat jamaah, yang keimamannya disebut “al-imamah al-shughra,” atau

Kedua, imam dalam negara Khilafah, yang keimamannya disebut “al-imamah al-kubra.”

 

Dalam hal ini, kata “Imam” dalam kaidah fiqih tersebut, lebih tepat dimaknai “Imam” dalam makna “al-imamah al-kubra” (keimaman besar), bukan “al-imamah al-shughra” (keimaman sholat) karena menyebut kata “al-ra’iyah” (rakyat) dalam redaksi kaidah fiqihnya. Perhatikan bunyi qaidahnya :

 

تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ

 

“Kebijakan Imam terhadap rakyat bergantung pada kemaslahatan.”

 

Dengan demikian, menerapkan kaidah fiqih tersebut untuk melegitimasi kebijakan pemimpin dalam sistem sekuler (yakni sistem republik), jelas sebuah kekeliruan.

 

Perhatikan syarah (penjelasan) dari Syekh Muhammad Mushthofa Az-Zuhaili dalam kitabnya Al-Qawâ’id Al-Fiqhiyyah wa Tathbîqâtuhâ fî Al-Madzâhib Al-Arba’ah :

 

وَهَذِهِ الْقَاعِدَةُ تَرْسُمُ حُدُوْدَ الإدَارَاتِ الْعَامَّةِ وَالسِّيَاسَةِ الشَّرْعِيَّةِ فِي سُلْطَانِ الْوُلَاةِ وَتَصَرُّفَاتِهِمْ عَلَى الرَّعِيَّةِ ، فَتُفِيْدُ أَنَّ أَعْمَالَ الْوُلَاةِ النَّافِذَةِ عَلَى الرَّعِيَّةِ يَجِبُ أَنْ تُبْنَى عَلَى الْمَصْلَحَةِ لِلْجَمَاعَة وَخَيْرِهَا ، لِأَنّ الْوُلَاةَ مِنْ الْخَلِيْفَةِ فَمَنْ دُونَهُ لَيْسُوْا عُمَّالاً لِأَنْفُسِهِم ، وَإِنَّمَا هُمْ وُكَلَاءُ عَنْ الْأُمَّةِ فِي الْقِيَامِ بِأصْلَحِ التَّدَابِيْرِ...

 

“Kaidah ini menggariskan batas-batas pengaturan umum dan politik syariah dalam kekuasaan para penguasa dan kebijakan mereka terhadap rakyat. Maka kaidah ini memberikan makna bahwa kebijakan para penguasa atas rakyat wajib dibangun atas dasar kemaslahatan bagi masyarakat dan kebaikan masyarakat, karena para penguasa, yaitu Khalifah dan para penguasa di bawahnya bukanlah pegawai bagi diri mereka sendiri, melainkan para wakil dari umat untuk menyelenggarakan pengaturan [urusan rakyat] yang terbaik ...”

 

(Syekh Muhammad Mushthofa Az-Zuhaili, Al-Qawâ’id Al-Fiqhiyyah wa Tathbîqâtuhâ fî Al-Madzâhib Al-Arba’ah, Juz I, hlm. 193).

 

Dari kutipan tersebut jelaslah bahwa yang dimaksud dengan kata “Imam” dalam kaidah yang berbunyi :

 

تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ

 

“Kebijakan pemimpin terhadap rakyat bergantung pada kemaslahatan.”

 

maknanya tiada lain adalah “Khalifah” sebagaimana penjelasan dari Syekh Muhammad Mushthofa Az-Zuhaili, dalam kitabnya Al-Qawâ’id Al-Fiqhiyyah wa Tathbîqâtuhâ fî Al-Madzâhib Al-Arba’ah (Juz I, hlm. 193).

 

Perhatikan syarah (penjelasan) Syekh Muhammad Mushthofa Az-Zuhaili khususnya pada kalimat berikut ini, yang menafsirkan kata “Imam” dalam kaidah fiqih tersebut maknanya tiada lain adalah “Khalifah” (pemimpin negara Khilafah), bukan pemimpin dalam sistem sekuler seperti Presiden dalam sistem Republik yang ada saat ini, perhatikan penjelasannya berikut ini : 

 

لِأَنّ الْوُلَاةَ مِنْ الْخَلِيْفَةِ فَمَنْ دُونَهُ لَيْسُوْا عُمَّالاً لِأَنْفُسِهِم

 

“...karena para penguasa, yaitu Khalifah dan para penguasa di bawahnya bukanlah pegawai bagi diri mereka sendiri...”

 

Maka dari itu, mengartikan “imam” dalam kaidah fiqih itu secara umum dalam arti “pemimpin” sehingga dapat berlaku untuk presiden dalam sistem sekuler, adalah suatu kekeliruan yang tak dapat diterima.

 

Alasan Kedua, andaikata kata “Imam” dalam kaidah fiqih tersebut katakanlah dapat berlaku umum untuk presiden dalam sistem sekuler, yang patut dipertanyakan secara kritis adalah : benarkah kebijakan pindah IKN ini berdasarkan pertimbangan kemaslahatan?

 

Kemaslahatan macam manakah ketika pindah IKN ini ternyata di-back up oleh para oligark yang merupakan korporat-korporat pemodal raksasa pendukung rezim anti Islam dengan modal-modal mereka?

 

Kemaslahatan macam manakah ketika pindah IKN ini dilakukan dalam kondisi ketika negara dililit utang luar biasa besar yang mencapai  Rp 6771,52 triliun? (per September 2021).

(https://nasional.kontan.co.id/news/utang-pemerintah-indonesia-di-era-jokowi-naik-lagi-per-september-2021-rp-6711-t).

 

Kemaslahatan macam manakah ketika pindah IKN ini diduga dapat menimbulkan kerusakan lingkungan dahsyat? Contohnya seperti; pertama, ancaman terhadap tata air dan resiko perubahan iklim; kedua, ancaman keberlangsungan hidup flora dan fauna; ketiga, ancaman pencemaran dan kerusakan lingkungan seperti meningkatnya resiko kebakaran hutan, pencemaran minyak, penurunan nutrein pada kawasan pesisir dan laut, lubang tambang yang tidak ditutup mencemari air tanah, hingga menghambat jalur logistik masyarakat?

(https://www.suara.com/news/2022/01/19/123032/walhi-ungkap-3-dampak-lingkungan-serius-akibat-pemindahan-ibu-kota-ke-kalimantan).

 

Alasan Ketiga, juga tidak dapat diterima penggunaan kaidah fiqih yang berbunyi :

 

أَمْرُ الْإِمَامِ يَرْفَعُ الْخِلَافَ

 

“Perintah Imam menghilangkan perbedaan pendapat.”

 

Alasannya adalah : pertama, yang dimaksud “Imam” dalam kaidah tersebut adalah juga Khalifah dalam negara Khilafah, bukan presiden dalam sistem sekuler (republik). Kedua, kaidah fiqih ini hanya dapat diterapkan untuk hukum syara’ yang sifatnya khilafiyah (ada perbedaan pendapat), jadi kaidah ini tidak dapat diterapkan untuk UU produk sistem demokrasi yang jelas bukan hukum syara’.

 

Kesimpulannya, berdasarkan tiga alasan di atas, jelaslah penggunaan dua kaidah fiqih tersebut di atas untuk melegitimasi pindah IKN (Ibu Kota Negara), tidak dapat diterima. Maka dari itu, kepindahan IKN sebenarnya tidak mendapat legitimasi apa pun dari syariah Islam. Wallahu a’lam.

 

Yogyakarta, 28 Januari 2022

 

Muhammad Shiddiq Al Jawi

 

= = =

NB : Artikel ini ditulis sekitar dua tahun yang lalu, kemudian diedit secukupnya oleh Penulis pada hari Sabtu 22 Juni 2024, dalam rangka menyongsong kegagalan proyek IKN yang teramat tragis dan memalukan, yang ditandai dengan gagal totalnya rencana upacara peringatan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 2024 di IKN tersebut.

 


Artikel Lainnya





Bagi para pembaca yang ingin menanyakan masalah Agama kepada KH. M. Shiddiq Al Jawi, silakan isi form pertanyaan di bawah ini. KH. M. Shiddiq Al Jawi insya Allah akan berusaha menjawab pertanyaan dari para pembaca melalui email.